Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik dan sosial di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sementara teknologi digital menawarkan peluang besar untuk partisipasi demokratis dan kebebasan berekspresi, ia juga memunculkan tantangan baru terkait keamanan nasional dan stabilitas sosial.Â
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, menghadapi dilema dalam menyeimbangkan kebutuhan akan keamanan siber dengan perlindungan kebebasan berekspresi warga negaranya.
Keamanan siber telah menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah serangkaian insiden peretasan data yang menghebohkan. Salah satu contoh paling mencolok adalah peretasan pusat data nasional Indonesia pada Mei 2023.Â
Dalam insiden ini, peretas berhasil mengakses dan mencuri data sensitif dari berbagai lembaga pemerintah, termasuk kementerian dan badan intelijen. Insiden ini mengungkapkan kerentanan infrastruktur digital Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran serius tentang kemampuan negara untuk melindungi informasi sensitif.
Selain itu, pada September 2022, terjadi peretasan data militer dan polisi Indonesia yang mengekspos informasi pribadi dari ribuan personel keamanan. Insiden ini tidak hanya membahayakan keamanan individu yang terdampak, tetapi juga berpotensi mengancam keamanan nasional secara lebih luas.
Menghadapi ancaman-ancaman ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat keamanan sibernya. Indonesia telah meningkatkan investasinya dalam infrastruktur keamanan siber dan mengembangkan kerangka hukum yang lebih ketat untuk mengatur ruang digital.Â
Namun, beberapa kebijakan yang diterapkan untuk meningkatkan keamanan siber telah dikritik karena berpotensi membatasi kebebasan berekspresi.
Salah satu contoh utama dari dilema ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini, yang awalnya dirancang untuk melawan kejahatan siber dan melindungi pengguna internet, telah sering dikritik karena digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi online.Â
UU ITE telah menjadi alat represi digital yang efektif, memungkinkan penguasa untuk mengkriminalisasi ekspresi online yang dianggap 'menyinggung' atau 'mengganggu ketertiban umum'.
Data dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus-kasus terkait UU ITE, dengan banyak di antaranya melibatkan pengguna media sosial yang mengkritik pejabat pemerintah atau kebijakan publik (SAFEnet, 2023).Â