Laga final memang telah paripurna dengan kemenangan La Roja Spanyol atas Three Lions Inggris. Meski begitu, semangat nasionalisme dalam bungkus kompetisi regional Benua Biru itu masih meninggalkan banyak kenangan dan kisah.
Di bawah langit Berlin yang sarat sejarah, Spanyol, dengan tampilan memukau, mengangkat trofi Piala Eropa untuk keempat kalinya.Â
Prestasi
La Roja mengukuhkan diri sebagai dinasti baru dalam peta persepakbolaan Benua Biru. Seperti kisah-kisah sebelumnya, kemenangan itu bukan sekadar tentang sepak bola. Kemenangan Spanyol adalah metafora dari kebangkitan negeri itu di panggung politik dan ekonomi Uni Eropa.
Olimpiastadion Berlin menjadi saksi bisu dari drama yang menggetarkan jiwa. Inggris, dengan Three Lions-nya yang gagah ternyata memberikan perlawanan sengit.Â
Namun, La Roja dengan tarian tiki-taka modern mereka, membuktikan bahwa evolusi dari tradisi bisa mengalahkan kekuatan dan kecepatan. Dua gol di gawang Inggris bukan hanya menentukan nasib pertandingan, tapi juga menjadi simbol dari Spanyol baru yang multikultur dan progresif.
Luis de la Fuente, sang arsitek kemenangan, telah melakukan apa yang dulu dianggap mustahil: memadukan warisan tiki-taka dengan pragmatisme modern.Â
Keputusannya untuk memercayai talenta-talenta muda seperti Pedri, Gavi, dan Yamal, menjadi cermin dari keberanian Spanyol untuk bertransformasi, baik di lapangan maupun dalam kancah politik Eropa.
Kemenangan ini seperti diperkirakan memiliki resonansi jauh melampaui batas-batas lapangan bola. Di tengah tantangan yang dihadapi Uni Eropa, dari Brexit hingga kebangkitan populisme, kesuksesan Spanyol menjadi sinar harapan.Â
Menangnya Spanyol mengingatkan kita bahwa dengan visi yang jelas dan keberanian untuk berubah, kebangkitan selalu mungkin.
Spanyol, yang beberapa tahun lalu masih bergulat dengan krisis ekonomi dan ketidakpastian politik, kini berdiri tegak sebagai salah satu pilar utama Uni Eropa.