Di bawah langit Berlin yang temaram, Italia menitikkan air mata pilu. Sang juara bertahan Euro terhuyung-huyung, jatuh tersungkur di hadapan Swiss yang garang.Â
Ketika wasit meniup peluit panjang, skor 0-2 terukir pahit di papan nilai. Para tifosi harus menangis kegagalan tim mereka.
Gli Azzurri tersingkir tragis dari panggung Euro 2024. Sungguh ironis, negeri yang pernah melahirkan maestro-maestro sepakbola sekaliber Baggio, Del Piero, dan Maldini kini harus pulang dengan kepala tertunduk di babak 16 besar.
Luciano Spalletti, sang pelatih yang diharapkan membawa angin segar ke timnas Italia, hanya bisa terdiam membisu. Skema taktiknya luluh lantak di hadapan pressing tinggi Swiss yang memukau.Â
Remo Freuler dan Ruben Vargas menjadi algojo yang mengeksekusi mimpi Italia. Dua gol mereka bak belati tajam yang menghujam jantung Azzurri dan sekaligus merobek-robek asa jutaan tifosi di seluruh penjuru Negeri Pizza.
Kegagalan ini bukan sekadar kekalahan sepakbola biasa. Ia adalah simbol dari krisis identitas yang lebih dalam yang tengah melanda Italia.Â
Negeri yang pernah menjadi pusat peradaban Eropa kini seolah kehilangan arah. Italia terseok-seok mencari jati diri di tengah pusaran globalisasi yang tak kenal ampun.Â
Sepakbola, yang dulu menjadi kebanggaan nasional Italia, kini malah menjadi cermin yang memantulkan kelemahan dan kerapuhan negara itu.
Bukankah ironis, ketika Italia berhasil menjuarai Euro 2020 di tengah pandemi Covid-19 yang memorak-porandakan negeri itu, banyak pihak berharap itu adalah titik balik kebangkitan Italia?Â
Kemenangan 2020 itu seolah menjadi simbol resiliensi bangsa Italia, yang mampu bangkit dari keterpurukan dan trauma kolektif akibat pandemi. Sebuah renaissance menjadi impian para tifosi di Piala Eropa 2024.