Di bawah langit Eropa yang membentang luas, sebuah drama kolosal kembali digelar. Bukan sekadar pertarungan 22 pemain di atas lapangan hijau, namun sebuah kontestasi makna yang jauh lebih dalam.Â
Piala Eropa, turnamen sepakbola benua biru, menjadi panggung di mana identitas dan hegemoni diperebutkan, dinegosiasikan, dan direkonstruksi. Laga bola itu layaknya sebuah opera sabun kenegaraan. Setiap tendangan, setiap gol, dan setiap kemenangan menjadi babak baru dalam narasi kebangsaan yang tak pernah berujung.
Ernesto Laclau, sang filsuf politik, memberi kita kacamata untuk membaca pertarungan makna ini. Baginya, masyarakat tak pernah sepenuhnya 'terfiksasi', selalu ada celah untuk artikulasi dan reartikulasi makna (Laclau & Mouffe, 1985).Â
Di Piala Eropa, kita menonton bagaimana identitas nasional dan regional Eropa terus-menerus dinegosiasikan. Ini tarian tak berkesudahan antara 'kita' dan 'mereka'.
Setiap pertandingan menjadi ritual sakral. Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, dan air mata kemenangan atau kekalahan ditumpahkan.Â
Namun, di balik kemegahan ritual ini, tersembunyi pergulatan makna yang jauh lebih kompleks. 'Eropa' sendiri menjadi nodal point utama dalam kontestasi antara hegemoni dan identitas.Â
Bagi negara-negara Eropa Timur, partisipasi dalam Piala Eropa sering kali dilihat sebagai pengakuan atas status 'Eropa' mereka (Crolley & Hand, 2006, p. 109). Seolah-olah dengan bermain di turnamen ini, mereka akhirnya bisa duduk di meja makan yang sama dengan 'saudara-saudara' Barat mereka.Â
Sementara itu, bagi negara-negara dengan sejarah kolonial, seperti Inggris atau Prancis, turnamen ini menjadi arena kesempatan untuk membangkitkan kembali kejayaan masa lalu mereka yang telah lama pudar.
Narasi sepakbola nasional sering kali menjadi cermin dari narasi nasional yang lebih luas, termasuk nostalgia imperial (Blain et al.). Setiap gol yang bersarang di gawang lawan seolah menjadi penegasan akan kebesaran nasional dari sebuah bangsa yang tak lekang oleh waktu.Â
Namun, bukankah ini hanyalah ilusi? Bukankah kebesaran sejati justru terletak pada kemampuan untuk melihat kemanusiaan di balik perbedaan bendera?