Laut China Selatan telah menjadi salah satu titik panas geopolitik terpenting di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Kawasan ini menyimpan kekayaan sumber daya alam yang melimpah serta memegang peranan vital dalam jalur perdagangan maritim global.
Namun di balik kepentingan ekonomi tersebut, terselip ambisi teritorial dan persaingan kekuatan militer yang mengancam stabilitas kawasan. Dalam pandangan realisme, konflik di Laut China Selatan dapat dipahami sebagai pertarungan kepentingan nasional negara-negara yang terlibat, terutama China dengan klaim wilayah dan langkah-langkah militerisasinya.
Sengketa wilayah di Laut China Selatan menjadi konflik kepentingan nasional, tanpa solusi jelas karena tidak ada otoritas tunggal yang disegani. Anarki adalah fitur penting yang menentukan stabilitas keamanan dunia. Tanpa otoritas pusat untuk menerapkan aturan secara efektif, Laut China Selatan menjadi arena konflik kepentingan nasional tanpa ada kekuatan yang dapat mengontrol secara efektif
Bagi China, Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang melekat dengan kedaulatan dan keamanan nasionalnya (Panda, 2022). Kebijakan kontroversial nine-dash line yang mencakup hampir seluruh perairan Laut China Selatan merefleksikan ambisi Beijing untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah pengaruh utamanya.
Amerika Serikat (AS), misalnya, mencurigai klaim nine-dash line itu sebagai upaya awal untuk memperluas kedaulatan teritorialnya. Dalam pandangan itu, China dianggap memiliki ambisi hegemoni regional di kawasan ini.
Langkah militerisasi yang masif di pulau-pulau yang dikuasainya, seperti pembangunan landasan militer dan penempatan persenjataan, menunjukkan kesungguhan China untuk memproyeksikan kekuatan dan mempertahankan klaimnya atas wilayah tersebut.
Negara-negara seperti China, Vietnam, dan Filipina akan bertindak rasional untuk memaksimalkan kepentingan nasional mereka dalam memperebutkan pengaruh dan sumber daya di Laut China Selatan. Mereka berupaya memaksimalkan kepentingan nasional mereka yang didefinisikan sebagai kekuasaan dan keamanan (Donnelly, 2005).
Dalam konteks regional yang lebih luas, ASEAN mengkritik langkah-langkah militerisasi di perairan kawasan Indo-China, baik oleh China maupun AS. Bagi ASEAN, persaingan kedua negara besar itu telah merembet pada upaya perluasan kepentingan di negara-negara kawasan.Â
Dari perspektif realisme, tindakan-tindakan China ini dapat dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan kapabilitas militer dan posisi tawar dalam mengamankan akses terhadap sumber daya serta jalur perdagangan yang vital bagi kepentingan nasionalnya (Beckley, 2017).
Pengendalian atas Laut China Selatan tidak hanya memberi keuntungan ekonomi, tetapi juga keamanan maritim yang menguntungkan bagi Beijing dalam menghadapi rival seperti Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di kawasan.