Di tengah hiruk-pikuk Piala Eropa 2024, La Furia Roja Spanyol kembali menginjak tanah Jerman, negeri bratwurst dan bir. Namun kali ini, mereka datang bukan sebagai penakluk yang perkasa seperti dahulu.
Skor 1-0 Spanyol melawan Italia seolah menegaskan rasa manis pahit itu. Manisnya kemenangan La Furia Roja justru terasa pahit ketika tiki taka gagal memasukkan sendiri bolanya ke gawang Gli Azzurri.
Tim Spanyol bagai pencari jati diri yang tengah meraba-raba dalam kegelapan transisi. Spanyol, dengan warisan tiki-taka yang gemilang, kini berdiri di persimpangan sejarah, mencoba meracik resep baru dari bahan-bahan lama yang telah usang.Â
Tiki-taka, filosofi sepakbola Spanyol yang pernah menggemparkan dunia, kini bagaikan tapas yang telah kehilangan rasanya. Dulu, di bawah asuhan Guardiola di Barcelona dan Del Bosque di timnas, Spanyol memainkan sepakbola bagai seniman memainkan kuas di atas kanvas - indah, akurat, dan mematikan.Â
Namun kini, di era sepakbola yang lebih cepat dan agresif, tiki-taka seolah menjadi tarian lambat yang kehilangan temponya. Spanyol datang ke Jerman membawa beban sejarah yang berat.Â
Mereka adalah pewaris tahta kejayaan sepakbola Eropa, namun juga pembawa luka dari kegagalan-kegagalan terkini. Seperti Don Quixote yang mengejar mimpi-mimpi mustahil, La Roja terus mencari ramuan ajaib untuk mengembalikan kejayaan masa lalu.Â
Namun, apakah kejayaan itu masih relevan di era sepakbola modern yang telah berubah? Di tanah Jerman, negeri yang telah lama menjadi rival sekaligus inspirasi itu, Spanyol harus berhadapan tidak hanya dengan lawan di lapangan, tetapi juga dengan bayang-bayang masa lalu mereka sendiri.Â
Jerman, dengan Mannschaft-nya yang efisien dan pragmatis, seolah menjadi antitesis dari romantisme sepakbola Spanyol. Namun justru di sinilah letak ironinya: untuk bangkit kembali, mungkin Spanyol perlu belajar dari 'musuh' lamanya ini.
Hubungan Spanyol-Jerman dalam sepakbola adalah cerminan dari dinamika politik Eropa yang lebih luas. Dua kekuatan besar ini telah lama berdansa dalam tarian kekuasaan yang rumit, baik di lapangan hijau maupun di meja perundingan Uni Eropa.Â
Kini, di tengah tantangan geopolitik yang semakin kompleks, pertemuan mereka di Piala Eropa 2024 menjadi metafora yang menarik tentang pencarian identitas sepakbola Eropa di abad ke-21.