Perdebatan seputar kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) belakangan ini sesungguhnya merupakan hal yang positif dalam perspektif demokrasi deliberatif. Bagi Ernesto Laclau, salah satu penggagas teori wacana, perdebatan itu merupakan wujud nyata kontestasi wacana di ruang publik.
Demokrasi membuka ruang yang luas untuk membangun konsensus dan legitimasi atas suatu kebijakan. Perdebatan Tapera dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyerap aspirasi publik, menyempurnakan kebijakan, dan membangun kepercayaan masyarakat.
Wacana adalah arena artikulasi politis bagi berbagai tuntutan dan identitas yang berkelindan membentuk formasi hegemonik (Laclau & Mouffe, 2001). Dalam konteks TAPERA, setidaknya ada dua formasi wacana yang menonjol, yaitu pendukung dan pengkritik kebijakan.Â
Kubu pendukung mewacanakan Tapera sebagai solusi menyediakan perumahan dan perwujudan negara kesejahteraan bagi masyarakat. Sementara itu, kubu pengkritik melihatnya sebagai semata beban tambahan bagi rakyat dan berpotensi disalahgunakan.
Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko, misalnya, menegaskan Tapera sebagai amanat konstitusi dan komitmen negara untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Hal sama disampaikan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang menyebut tujuan utama Tapera adalah menjadi bantalan ekonomi bagi masyarakat yang ingin memiliki rumah sendiri.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengkritisi Tapera sebagai kebijakan yang dipaksakan dan membebani masyarakat. Pambagio juga mempertanyakan urgensi, dasar filosofis kebijakan ini, dan apakah sudah melalui kajian yang mendalam.Â
Kritik juga dilontarkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menilai Tapera sebagai upaya memaksa buruh untuk menabung dari penghasilan yang sudah pas-pasan.Â