Kawasan Indo-Pasifik telah menjadi arena kontestasi wacana atau narasi dari berbagai kekuatan besar dunia dalam beberapa tahun terakhir. Narasi-narasi yang saling berkompetisi ini pada dasarnya mencerminkan kepentingan strategis masing-masing negara di kawasan yang dipandang semakin vital ini.Â
Tulisan ini akan menelaah kontestasi narasi Indo-Pasifik tersebut dan menganalisis potensi konflik maupun peluang kerja sama yang dapat muncul. Melalui narasi dari pihak-pihak yang berkonflik di kawasan ini, realitas mengenai potensi konflik dan kerja sama bisa diidentifikasi.
Konsep Indo-Pasifik sendiri merupakan konstruksi diskursif yang relatif baru. Konsep ini muncul sebagai respons atas pergeseran pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia dari Atlantik ke Asia Pasifik di abad ke-21.Â
Ingatan mengenai munculnya konsep Indo-Pasifik dapat ditarik ke perkembangan awal mengenai semakin pentingnya kawasan Asia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Obama memperkenalkan konsep Asia pivot.Â
Melalui konsep ini, AS memandang China sebagai ancaman di kawasan ini, sehingga AS bekerjasama dengan Australia membuka pangkalan marinir di Darwin. Kepentingan AS menjaga stabilitas keamanan di kawasan ini menjadi alasan utama kehadiran militernya.
Dalam konteks ini, Pasifik dan Samudra Hindia dipandang sebagai satu kesatuan kawasan. Kedua kawasan itu saling terkoneksi dan menjadi pendorong utama ekonomi global.Â
Namun lebih dari sekadar konstruksi geografis, Indo-Pasifik juga merupakan konstruksi strategis yang mencerminkan persaingan pengaruh antara kekuatan-kekuatan besar. Bagi Amerika Serikat, visi Indo-Pasifik yang "bebas dan terbuka" (free and open) menjadi narasi dominan untuk membendung pengaruh Tiongkok yang semakin ekspansif di kawasan.
Dengan merangkul sekutu-sekutunya seperti Jepang, India, dan Australia, AS ingin mempertahankan tatanan regional yang berbasis pada aturan (rules-based order) dan menjamin freedom of navigation di Laut China Selatan (Pence, 2018).Â
Di sisi lain, Belt and Road Initiative (BRI) menjadi narasi tandingan Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya melalui konektivitas infrastruktur dan investasi. Bagi Beijing, BRI tak hanya inisiatif ekonomi tetapi juga wahana untuk mengartikulasikan visinya tentang tatanan global alternatif.
Persaingan narasi AS-Tiongkok ini berpotensi memicu ketegangan dan konflik di Indo-Pasifik, khususnya di titik-titik sengketa seperti Laut China Selatan. Kompetisi antara kekuatan hegemon (AS) dengan kekuatan revisionis (Tiongkok) cenderung menimbulkan instabilitas dalam sistem internasional (Gilpin, 1988).Â