Kawasan Indo-Pasifik saat ini menjadi arena persaingan geopolitik yang semakin intens antara kekuatan-kekuatan besar (great powers) di tingkat global. Persaingan ini melibatkan berbagai dimensi, mulai dari politik, ekonomi, keamanan, hingga isu-isu ideologis.Â
Sebagai negara dengan posisi strategis di tengah dinamika regional ini, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan dan memperkuat perannya dalam kontestasi yang semakin kompleks.
Konsep kompetisi kekuatan besar (great power competition) menjadi kerangka teoretis yang relevan untuk memahami situasi saat ini di kawasan Indo-Pasifik. Konsep ini menekankan pada rivalitas antara kekuatan-kekuatan besar, seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, India, dan Jepang, dalam memperebutkan pengaruh dan dominasi regional.Â
Masing-masing aktor berusaha untuk memaksimalkan kepentingan strategisnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun keamanan.
Salah satu isu sentral yang menjadi arena kompetisi adalah Laut China Selatan. Kawasan ini memiliki nilai strategis yang tinggi, tidak hanya karena merupakan jalur pelayaran dan perdagangan global, tetapi juga karena kekayaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya (Kivimäki, 2019).Â
Tiongkok, sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan, telah mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan melalui "nine-dash line" yang diklaim berbasis sejarah. Klaim ini tentunya bertentangan dengan klaim negara-negara lain di kawasan, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia.
Upaya Tiongkok untuk memperkuat posisinya di Laut China Selatan, melalui pembangunan pulau-pulau buatan dan militarisasi, telah memicu ketegangan dan kekhawatiran di kalangan negara-negara sekitar. AS, sebagai kekuatan hegemonik global, merespon hal ini dengan memperkuat keterlibatan dan kehadiran militernya di kawasan, termasuk melalui aliansi dengan sekutu-sekutunya seperti Jepang dan Australia.Â
Dinamika ini menciptakan potensi konflik yang dapat mengganggu stabilitas regional. Selain Laut China Selatan, isu sensitif lainnya yang menjadi arena kompetisi adalah status Taiwan. Tiongkok memandang Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya, sementara AS dan sekutu-sekutunya berusaha untuk mempertahankan status quo dan mencegah upaya reunifikasi secara paksa oleh Tiongkok.Â
Ketegangan di sekitar Taiwan berpotensi menjadi pemicu konflik yang dapat melibatkan sejumlah kekuatan besar. Dalam merespons dinamika kompetisi kekuatan di kawasan, Indonesia berusaha untuk menjalankan diplomasi yang aktif dan berimbang.Â
Sebagai negara besar di kawasan, Indonesia menyadari pentingnya menjaga stabilitas regional untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan nasionalnya. Oleh karena itu, Indonesia telah menerapkan pendekatan "bebas-aktif" dalam politik luar negerinya.