Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dinamika Aliansi Negara-Negara di Timur Tengah Terhadap Israel dan Iran

16 April 2024   16:41 Diperbarui: 17 April 2024   04:00 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Konflik Iran dan Israel. (Shutterstock via ANTARA)

Dengan eskalasi konflik antara Israel dan Iran akibat serangan Israel ke konsulat Iran di Suriah dan balasan dari Iran, polarisasi dukungan di antara negara-negara Timur Tengah terhadap kedua kubu semakin meningkat. Fenomena ini dapat dianalisis dengan menggunakan konsep pembentukan aliansi (alliance formation) dalam studi Hubungan Internasional.

Pembentukan aliansi merupakan salah satu strategi yang digunakan oleh negara-negara untuk meningkatkan kekuatan dan keamanan nasional mereka di lingkungan internasional yang anarki (Griffiths et al., 2008). 

Negara-negara akan cenderung membentuk aliansi dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan atau ancaman yang sama. Tujuan aliansi itu adalah meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi ancaman tersebut.

Dalam kasus polarisasi dukungan di Timur Tengah, kita dapat melihat pembentukan aliansi yang terbagi menjadi dua kubu besar, yaitu kubu pro-Israel dan kubu pro-Iran. Negara-negara Arab Teluk ---seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Kuwait--- cenderung mendukung Israel. Mereka memandang Iran sebagai ancaman utama bagi keamanan nasional mereka. 

Mereka khawatir dengan ambisi Iran untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Teluk dan program nuklir Iran yang dapat mengancam keseimbangan kekuatan di Timur Tengah.

Di sisi lain, Iran cenderung mendapat dukungan dari negara-negara seperti Suriah dan kelompok-kelompok Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina dan milisi-milisi Syiah di Irak. 

Negara-negara dan kelompok-kelompok ini memiliki kedekatan ideologis dengan Iran yang beraliran Syiah, serta menentang pengaruh AS dan Israel di kawasan Timur Tengah.

Stephen M. Walt dalam bukunya "The Origins of Alliances" (1987) menjelaskan pembentukan aliansi sering didasarkan pada ancaman yang dihadapi negara-negara tersebut. Negara-negara cenderung membentuk aliansi dengan negara-negara lain yang menghadapi ancaman yang sama. 

Dalam kasus ini, negara-negara Arab Teluk memandang Iran sebagai ancaman utama. Sebaliknya, Iran dan sekutu-sekutunya memandang Israel dan AS sebagai ancaman bagi kepentingan mereka.

Polarisasi dukungan ini juga mencerminkan persaingan kekuatan antara Iran dan Arab Saudi dalam memperebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Kedua negara ini berusaha menarik sekutu sebanyak mungkin untuk memperkuat posisi mereka di kawasan tersebut. 

Dalam bukunya "The Tragedy of Great Power Politics" (2001), John J. Mearsheimer mengungkapkan kecenderungan negara-negara berusaha memaksimalkan kekuatan relatifnya terhadap negara-negara lain dalam upaya memastikan keamanan nasionalnya.

Selain itu, polarisasi dukungan juga terjadi di dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Negara-negara Teluk Arab di OKI cenderung pro-Israel. Sedangkan, negara-negara, seperti Malaysia dan Indonesia lebih condong kepada Iran. 

Hal ini tentu saja menghambat upaya OKI untuk mengambil sikap tegas dalam menangani konflik Israel-Iran. Menurut Karen A. Mingst dan Iván M. Arreguín-Toft (2017), organisasi internasional seringkali menghadapi kesulitan dalam mengambil tindakan kolektif karena adanya perbedaan kepentingan di antara negara-negara anggotanya.

Ilustrasi bendera Israel-Iran. (Dok ddhk.org)
Ilustrasi bendera Israel-Iran. (Dok ddhk.org)

Perbandingan aliansi

Polarisasi dukungan di antara negara-negara Timur Tengah terhadap Israel dan Iran dalam konteks eskalasi ketegangan terkini memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan dengan situasi sebelumnya.

Kesamaan:

1. Pola aliansi tradisional

Pola aliansi tradisional di Timur Tengah masih relatif konsisten, di mana negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Kuwait cenderung mendukung Israel dalam menghadapi Iran. 

Sementara Iran masih mendapat dukungan dari Suriah, Hizbullah, Hamas, dan milisi-milisi Syiah di Irak. Pola ini telah terbentuk sejak lama dan didasarkan pada pertimbangan ideologis, ancaman yang dihadapi, serta kepentingan nasional masing-masing negara.

2. Persaingan Iran-Arab Saudi

Polarisasi dukungan ini juga mencerminkan persaingan kekuatan antara Iran dan Arab Saudi dalam memperebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Kedua negara ini telah lama bersaing untuk menarik sekutu sebanyak mungkin dalam upaya meningkatkan kekuatan relatif mereka di kawasan tersebut.

Perbedaan:

1. Eskalasi ketegangan yang lebih tinggi

Meskipun ketegangan antara Israel dan Iran telah berlangsung lama, eskalasi terkini akibat serangan terhadap konsulat Iran di Suriah dan balasan dari Iran telah membawa ketegangan ke tingkat yang lebih tinggi. 

Hal ini dapat mempengaruhi pola dukungan dan memicu negara-negara untuk lebih eksplisit dalam memihak salah satu kubu.

2. Pergeseran dukungan dari negara-negara tertentu

Meskipun pola aliansi tradisional masih kuat, ada beberapa negara yang mengalami pergeseran dukungan dalam konteks eskalasi terkini. Misalnya, Turki yang sebelumnya cenderung netral kini terlihat lebih mendukung Iran, sementara negara-negara seperti Qatar dan Oman berupaya menjaga keseimbangan dengan tidak memihak salah satu kubu secara tegas.

3. Pengaruh faktor baru

Dalam eskalasi terkini, terdapat faktor-faktor baru yang dapat mempengaruhi pola dukungan, seperti peran Amerika Serikat di bawah kepemimpinan baru, dinamika politik dalam negeri di beberapa negara Timur Tengah, serta isu-isu regional lain seperti konflik Rusia-Ukraina yang dapat mempengaruhi aliansi di kawasan tersebut.

Secara keseluruhan, meskipun terdapat beberapa kesamaan dengan situasi sebelumnya, polarisasi dukungan dalam konteks eskalasi ketegangan Israel-Iran terkini memiliki beberapa perbedaan dan dinamika baru yang perlu diperhatikan. 

Negara-negara di Timur Tengah mungkin perlu menyesuaikan posisi mereka sesuai dengan perkembangan terkini dan pertimbangan kepentingan nasional masing-masing.

Konsep pembentukan aliansi dalam studi Hubungan Internasional dapat memberikan pemahaman yang berharga tentang motivasi di balik pergeseran dukungan ini, serta implikasinya terhadap keseimbangan kekuatan dan stabilitas kawasan. 

Polarisasi regional antara Iran dan Arab Saudi telah menciptakan dua blok yang saling bertentangan, dengan masing-masing pihak mencari sekutu di antara negara-negara dan kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan serupa. Situasi ini telah memperumit upaya resolusi konflik di Timur Tengah" (International Crisis Group/ICG, 2018.

Sementara itu, polarisasi antara blok Saudi-Israel dan blok Iran-Suriah-Hizbullah telah menciptakan lingkungan yang sangat rawan bagi konflik berskala besar di Timur Tengah. Negara-negara kecil di kawasan ini sering terjebak dalam persaingan kekuatan besar ini.

Namun, faktor-faktor spesifik seperti dinamika domestik, kepentingan ekonomi, dan isu-isu regional lainnya juga perlu dipertimbangkan dalam menganalisis polarisasi dukungan di Timur Tengah.

Polarisasi dukungan ini dapat memperumit upaya perdamaian dan resolusi konflik antara Israel dan Iran. Negara-negara pendukung masing-masing kubu cenderung memberikan dukungan kepada pihak yang mereka dukung, sehingga sulit untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. 

Menurut Robert Jervis (1976), persepsi ancaman yang berbeda di antara beberapa negara dapat menyebabkan spiral konflik yang semakin meningkat dan berkepanjangan.

Rivalitas AS, Rusia, dan China

Polarisasi dukungan terhadap Israel dan Iran di kawasan Timur Tengah tidak hanya terbatas di antara negara-negara regional. Arsitektur dukungan itu menjadi magnet bagi keterlibatan kekuatan-kekuatan besar, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China. 

Ketiga negara itu memiliki kepentingan membentuk aliansi strategis masing-masing  di kawasan Timur Tengah.

1. Aliansi dengan Amerika Serikat

Amerika Serikat telah lama menjadi sekutu utama Israel dan negara-negara Arab Teluk seperti Arab Saudi. Polarisasi antara blok pro-Iran dan blok pro-Saudi/Israel berpotensi mendorong negara-negara di Timur Tengah untuk semakin bergantung pada dukungan AS sebagai sekutu utama dalam menghadapi ancaman yang mereka persepsikan.

Semakin meningkatnya polarisasi di Timur Tengah dapat membuat AS terjebak dalam konflik yang lebih besar, terutama jika negara-negara sekutu AS seperti Arab Saudi dan Israel merasa perlu mengambil tindakan lebih agresif terhadap Iran.

2. Aliansi dengan Rusia

Rusia telah berupaya untuk memperluas pengaruhnya di Timur Tengah, terutama melalui dukungannya terhadap rezim Bashar al-Assad di Suriah, yang merupakan sekutu dekat Iran. 

Polarisasi di Timur Tengah menyediakan peluang bagi Rusia untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan tersebut. Rusia menawarkan diri sebagai kekuatan penyeimbang bagi negara-negara yang merasa tidak puas dengan pengaruh AS.

Rusia juga dapat memanfaatkan polarisasi ini untuk memperkuat aliansinya dengan Iran dan negara-negara yang menentang pengaruh AS di kawasan tersebut.

3. Aliansi dengan China

China telah meningkatkan keterlibatannya di Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam bidang ekonomi dan investasi. Polarisasi di Timur Tengah dapat memberikan peluang bagi China. Dibandingkan negara-negara besar lainnya, China memiliki kans memperluas pengaruhnya di kawasan itu sebagai mitra ekonomi dan investor yang tidak memihak salah satu kubu.

Semakin meningkatnya polarisasi di Timur Tengah berpotensi mendorong negara-negara di kawasan tersebut untuk mencari mitra baru, seperti China. Negara ini dianggap sebagai kekuatan yang lebih netral dan tidak terlalu terlibat dalam konflik regional.

Polarisasi dukungan terhadap Israel dan Iran di Timur Tengah memang berpotensi untuk menarik keterlibatan kekuatan-kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China, yang masing-masing memiliki kepentingan strategis di kawasan tersebut. 

Negara-negara di Timur Tengah dapat mencari aliansi dengan kekuatan-kekuatan besar ini untuk mendapatkan dukungan militer, ekonomi, atau politik dalam menghadapi ancaman yang mereka persepsikan dari kubu lawan. 

Namun, keterlibatan kekuatan-kekuatan besar ini juga dapat memperumit dinamika konflik dan berpotensi memicu eskalasi yang lebih besar. Salah satu konsekuensi dari keterlibatan negara-negara besar itu adalah konflik yang berkepanjangan, seperti Israel-Palestina dan Israel-Iran.

Oleh karena itu, upaya diplomasi yang intensif dari berbagai pihak, termasuk negara-negara besar di luar kawasan Timur Tengah, untuk mencari solusi damai dan mencegah eskalasi konflik yang lebih besar. 

Negara-negara netral, seperti Turki dan Qatar, juga dapat memainkan peran penting sebagai mediator dalam upaya perdamaian tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun