Salah satu isu penting yang sering disinggung dalam debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden 2024 adalah isu hilirisasi sumber daya alam (SDA), khususnya nikel. Perdebatan bahkan malah berkepanjangan di luar forum-forum capres dan cawapres itu sendiri.
Kontroversi terakhir adalah baku pendapat antara Thomas Lembong dan Luhut B. Panjaitan. Mereka berdua sebenarnya termasuk All-President's Men.Â
Bedanya, Thomas adalah Menteri Perdagangan Indonesia, 12 Agustus 2015 hingga 27 Juli 2016 dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 27 Juli 2016 hingga 23 Oktober 2019. Lalu, Luhut sedang menjabat Menteri Koordinator di bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves).
Sejak memimpin negeri ini pada 2014 silam, Presiden Joko Widodo memang gencar mendorong industrialisasi berbasis sumber daya alam (SDA) melalui hilirisasi sejumlah komoditas strategis. Salah satu yang menjadi fokus utama adalah logam nikel, di tengah ambisi Indonesia menjadi produsen baterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Â
Kebijakan hilirisasi nikel ini bahkan sudah mendapat protes dari Uni Eropa (UE). Protes itu menambah persoalan antara Indonesia dan UE yang sudah ribut soal larangan ekspor kelapa sawit.
Nasionalisme ekonomi
Perdebatan antara Tom Lembong dan Luhut dapat dianggap sebagai representasi dua spektrum besar yang berlawanan dalam paradigma ekonomi. Kebetulan memang Tom berada di belakang capres Anies Baswedan dan Luhut sebagai menteri senior di pemerintahan Jokowi sekarang.
Namun demikian, keributan mereka tak pelak memunculkan lagi isu lama, yaitu perseteruan nasionalisme dan liberalisasi ekonomi. Ketegangan ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru dalam pembangunan ekonomi Indonesia.Â
Namun, naiknya Jokowi menjadi Presiden sejak 2014 telah meningkatkan semangat nasionalisme itu di tengah gelombang ekonomj liberal di berbagai negara. Apalagi pemerintahan Jokowi dibangun dengan semangat kemandirian ekonomi.
Kemunculan kembali nasionalisme ekonomi dapat dilihat pada kebijakan hilirisasi SDA, termasuk nikel. Kebijakan ini pada intinya merupakan wujud konkret dari intervensi negara ke sektor-sektor strategis.Â