Pertemuan para Menteri Luar Negeri se-ASEAN (ASEAN Ministers' Meeting/AMM) ke 56 di Juli 2024 berlangsung dalam suasana lebih panas dari biasanya. Penyebabnya adalah langkah diplomasi Thailand bertemu dengan berbagai pihak yang terlibat konflik di Myanmar.
ASEAN, dalam komunike bersama yang dirilis setelah AMM ke-56, menegaskan kembali bahwa Konsensus Lima Poin (5 Point Consensus/5PC) tetap menjadi acuan utama ASEAN untuk mengatasi krisis politik di Myanmar.
Pernyataan itu disampaikan Menlu Indonesia Retno Marsudi menanggapi pertemuan informal yang diinisiasi Thailand dengan mengundang para menteri ASEAN dan junta Myanmar, pertengahan Juni lalu.
Pada kenyataannya, pertemuan itu bersifat informal dari sebuah negara ASEAN, yaitu Thailand yang dihadiri hanya oleh Menlu tuan rumah dan Menlu Laos. Lebih lanjut, Menlu Retno menegaskan bahwa langkah diplomasi Thailand itu dipandang bukan merupakan main track (langkah utama) dari ASEAN, seperti termaktub dalam 5PC.
Diplomasi Thailand
Seperti diketahui bersama, Thailand telah mengambil langkah berbeda dalam penyelesaian isu di Myanmar. Hingga AMM itu, negeri Gajah Putih itu telah menggelar sedikitnya tiga pertemuan yang mengundang perwakilan junta Myanmar.
Menlu Thailand Don Pramudwinai memandang tindakan tersebut sebenarnya telah merujuk pada kesepakatan para pemimpin ASEAN berdasarkan dokumen Tinjauan dan Keputusan Implementasi 5PC.
Pada artikel 14 dari dokumen hasil dari KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja, berisi “ASEAN akan mempertimbangkan untuk menjajaki pendekatan lain yang dapat mendukung pelaksanaan Konsensus Lima Poin”.
Bagi Thailand, pendekatan itu bukan berarti legitimasi terhadap kekuasaan junta militer Myanmar. Pertemuan itu sangat berbeda dengan pertemuan ASEAN. Kedatangan junta militer ke pertemuan ASEAN bisa diartikan sebagai legitimasi.
Sementara itu, Indonesia dan sebagian besar negata anggota ASEAN tidak menghadiri pertemuan-pertemuan dengan junta Myanmar yang diinisiasi oleh Thailand. Sikap mereka sejakan dengan kebijakan ASEAN yang tidak mengundang perwakilan politik Thailand di bernagai pertemuan ASEAN dan ASEAN dengan negara-negara mitranya.
Menlu Thailand Don Pramudwinai mengklaim bahwa inisiatif Bangkok untuk bertemu beberapa kali dengan perwakilan junta Myanmar sebagai pendekatan lain untuk menyelesaikan krisis di negara itu. Inisiatif itu sudah tiga kali diselenggarakan Thailand.
Menlu Thailand juga menegaskan arti penting dan dasar dari inisiatif Bangkok itu di Pertemuan ke-56 Menlu ASEAN (AMM). Pertemuan ketiga atau terakhir yang diinisiasi Thailand bahkan mengundang seluruh menlu ASEAN dan junta Myanmar pada Juni 2023.
Namun demikian, pertemuan itu dikritisi oleh banyak negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia selaku ketua ASEAN tahun 2023. Akibatnya, pertemuan itu hanya dihadiri Menlu Laos dan menlu yang ditunjuk junta Myanmar yang hadir dalam pertemuan itu.
Yang menarik adalah bahwa pihak Thailand sendiri mengakui bahwa pertemuan itu bersifat informal dan tidak dilaksanakan dalam kerangka ASEAN. Pengakuan ini perlu diapresiasi mengingat pertimbangan legitimasi jika mengundang junta Myanmar ke pertemuan setingkat ASEAN.
Prinsip Dasar
Perbedaan pendekatan dalam penyelesaian krisis Myanmar itu merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh semua negara anggota ASEAN. Sejak junta militer menggulingkan pemerintahan demokratis pada 1 Februari 2021, krisis politik Myanmar telah menambah persoalan regional bagi ASEAN.
Akibat krisis berkepanjangan di Myanmar, organisasi regional itu dipandang gagal menyelesaikan persoalannya sendiri. Bahkan, berbagai upaya damai di tingkat regional, pelibatan negara-negara besar, dan organisasi internasional (Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) tetep tidak mampu melunakkan junta militer Myanmar.
Meski demikian, negara-negara anggota ASEAN menyadari prinsip dasar bagi penyelesaian damai bagi krisis politik Myanmar. Prinsip itu adalah komitmen regional bahwa dialog inklusif di antara seluruh pemangku kepentingan di Myanmar merupakan “satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini.”
Kesepakatan lain adalah bahwa pertemuan menlu se-ASEAN telah bersepakat bahwa seluruh keluarga ASEAN ingin melihat Myanmar kembali bergabung dalam berbagai pertemuan ASEAN dan dengan negara-negara mitra.
Dalam perbedaan pendekatan itu, Indonesia memandang pendekatan Thailand itu telah menyalahi mandat 5PC. Sedangkan pihak Thailand sendiri mengakui inisiatif pertemuan itu bersifat alternatif dan informal.
Hingga sekarang, Indonesia sebagai pemimpin ASEAN 2023 telah mengupayakan berbagai inisiatif damai dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders) di Myanmar.
Mereka adalah pemerintah bayangan bentukan oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (National Unity Government/NUG) dan pemerintah junta Dewan Administrasi Negara (State Administrative Council/SAC).
Situasi krisis di Myanmar masih berlangsung hingga saat ini. Junta militer masih tidak mengubah kebijakannya terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang mendukung pemimpin demokratis Aung San Suu Kyi. Berkali-kali ASEAN meminta junta militer Myanmar menghentikan kekerasan kepada rakyatnya.
Sebagai Ketua ASEAN pada 2023, Indonesia perlu membuka berbagai peluang pendekatan damai bagi Myanmar, termasuk inisiatif Thailand. Inisiatif Thailand diakui bersifat informal dan tidak sesuai kesepakatan 5PC, namun inisiatif itu mungkin bisa dipakai sebagai tahapan awal bagi pertemuan-pertemuan damai selanjutnya.
Melalui ASEAN, Indonesia juga bisa mempertimbangkan faktor-faktor kedekatan antara pemimpin militer Myanmar dengan pemimpin negara-negara anggota ASEAN lainnya demi membuka dialog inklusif nasional di Myanmar.
Keberlanjutan krisis Myanmar dan kebuntuan upaya-upaya regional ASEAN merupakan kenyataan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Semua pihak di kawasan Asia Tenggara tetu saja berharap dapat membangun perdamaian yang dapat bertahan lama di Myanmar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H