Tiba-tiba berjalan kaki ketika bisa bangun pagi tadi. Apalagi hawa pagi jam 7.00 WIB masih serasa jam 04.00 dini hari. Ada setitik tujuan kesehatan tentunya, tapi ternyata manfaat sosial dan, mungkin, politiknya ternyata lebih besar.
Tak ada motivasi khusus ingin menyerupai seorang pesohor di republik ini. Apakah kegiatan jalan kaki ini lalu dianggap sebagai dukungan kepada salah satu calon presiden (capres)?Â
Begitu pula perilaku mahasiswa menggebrak meja di kala diskusi kelas begitu saja menjadi dukungan ke capres itu? Atau karena saya berolahraga menggunakan kaki sebagai alat transportasi massal itu juga diasumsikan mendukung capres lainnya. Tidaklah.
Hidup tidak sesederhana otak-atik gathuk begitu. Kegiatan keseharian seseorang juga tidak bisa begitu saja mewakili pilihan politiknya. Ibarat permainan logika: jika A melakukan X, maka perilaku sama dari B berarti mendukung A? Bukan pula hubungan kausal antara 2 hal itu selalu bersifat resiprokal. A memang berhubungan dengan B, tapi B tidak selalu berhubungan balik dengan B.
Begitu pun dengan olahraga jalan kaki ini. Niatnya menjadi rutinitas, seperti menulis di Kompasiana ini. Tapi pasti ada tantangan untuk menjaga rutinitas itu. Yang menarik memang bahwa dengan jalan kaki ini, saya ternyata bisa membuat tulisan ini.
Lalu, apa saja manfaat sosial dari tulisan soal jalan kaki ini. Pertama, saya merasa bisa mendekatkan diri dengan konteks sosial lingkungan di sekitaran rumah. Saya tidak memakai kata "membumi". Lha wong selama ini sudah membumi alias menginjak tanah atau berinteraksi dengan warga komplek.
Namun demikian, mendekatkan diri ini dalam artian menyapa orang-orang lain ketika berjalan kaki. Berjalan keluar kompleks perumahan, menyapa penjaga keamanan perumahan sendiri dan tetangga.
Sambil menyapa, juga memperhatikan mimik wajah mereka. Mungkin mereka capek setelah berjaga semalaman atau bahagia karena baru memulai shift atau giliran jaga pagi.
Manfaat kedua, bisa mengetahui rumah-rumah di luar kompleks perumahan. Bentuk rumah yang asri, menyenangkan, mungil dan bikin betah. Ada perumahan dengan rumah-rumah tanpa pagar, jadi anak-anak kecil bisa bermain dan berlarian melewati batas rumah sendiri.
Ada rumah-rumah yang konon a-sosial. Biasanya di pinggir jalan. Rumah berpagar tinggi besar, hingga tak jelas di sebelah mana pintu depannya. Saking moderennya rumah itu, saya tidak bisa mengidentifikasi mana bagian depan dan belakang rumah.Â