Dengan kehati-hatian tadi, mahasiswa tetap membaca jawaban chatGPT dan menghindari perilaku copy-paste. Jawaban mahasiswa tetap membumi dan tidak normatif.
Kedua, menggunakan chatGPT sebagai teman ngobrol yang kritis. Mesin AI ini bisa diperlakukan sebagai teman yang mampu menilai tulisan kita. Faktor kedua ini levelnya satu tingkat lebih tinggi ketimbang nomer satu.
Ketika sudah mendapatkan soal ujian, mahasiswa bisa menuliskan jawaban sesuai pengetahuannya. Setelah itu, jawaban bisa dicopy-pastekan ke chatGPT dengan diawali kata-kata, misalnya "berikan penilaian terhadap jawaban dari pertanyaan..."
Dengan cara itu, chatGPT bisa menilai jawaban sudah sesuai atau belum dengan pertanyaan. Susunan kalimat sudah jelas atau kurang jelas pada aspek tertentu. Dengan cara ini, kita (termasuk mahasiswa) tidak sekedar meminta jawaban, tetapi penilaian kritis.
Faktor ketiga mengenai penggunaan chatGPT secara bertanggung jawab adalah tidak tergantung sepenuhnya. Sejak chatGPT muncul mendobrak dominasi dan arogansi mesin pencari google, berbagai mesin AI semacam chatGPT muncul menawarkan berbagai kelebihan.
Kemewahan di dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK) adalah banyaknya software atau aplikasi berbasis web atau non-web menawarkan manfaat utama serupa. Seperti MS Word mendapat saingan Google Docs dkk, hal yang sama terjadi pada chatGPT.
Mahasiswa ---sebagai generasi pengguna berbagai aplikasi itu--- memiliki kemewahan mencoba berbagai aplikasi itu. Setelah mengetahui manfaat dan kelemahan, mereka bisa menentukan aplikasi mana yang hendak dipilih.
Microsoft power point, misalnya, tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan membuat slide presentasi. Aplikasi seperti canva atau tome.app menjadi pesaing utama. Aplikasi terakhir bahkan sangat ampuh dengan hanya memasukkan topik, tome.app dapat menuliskan isi dan sekaligus gambar slide dalam hitungan detik.
Dengan tulisan ini, posisi saya sangat jelas mendukung pemakaian chatGPT dan aplikasi lainnya. Perkembangan TIK sebagai bagian dari arus globalisasi tidak mudah dibendung secara mudah.Â
Sekali lagi, tulisan ini sekedar refleksi atau ajakan di bulan puasa ini agar pemakaian berbagai aplikasi itu dilakukan secara bertanggung jawab.Â
Ajakan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan atas penggunaan chatGPT secara total. Seolah-olah chatGPT menguasai pikiran manusia, termasuk mahasiswa. Tanpa sadar bahwa kita sebagai pengguna dikuasai oleh satu aplikasi tertentu.