Tahun 2022 dan 2023 menjadi periode sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia melalui beberapa konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Melalui KTT, berbagai pemimpin negara bertemu untuk menyelesaikan berbagai persoalan regional dan global.Â
Dalam dunia modern seperti sekarang, pertemuan puncak melalui KTT menjadi sesuatu yang lumrah di antara kepala negara atau pemerintahan.
Berbagai negara berkolaborasi dalam berbagai forum khusus, baik ekonomi (APEC, RCEP, TPP, UE), pertahanan (NATO, AUKUS, QUADS), atau isu-isu lingkungan (COP). Kerjasama antar-negara juga terjadi pada kawasan tertentu, seperti Asia Tenggara (ASEAN), Asia Selatan (SAARC), Afrika (AU), dan lain-lain.Â
Berbagai forum (G20) atau organisasi (ASEAN, NATO, UE) itu mengadakan pertemuan tahunan di tingkat pemimpin negara. Agenda pembicaraan biasanya terkait dengan isu khusus yang menjadi alasan dan tujuan pembentukan forum/organisasi internasional itu.Â
Pertemuan puncak (KTT) juga membicarakan penyelesaian atas berbagai krisis, seperti pandemi Covid-19 dan krisis akibat perang Rusia-Ukraina.
Sebagai sebuah pertemuan puncak, pengamat seringkali menganggap KTT hanya sebagai formalitas di antara pemimpin. Pesimisme terhadap KTT bisa berasal dari beberapa faktor.Â
Pertama, anggapan itu berangkat dari situasi global yang semakin kompleks dan melibatkan lebih banyak aktor di luar negara. Pada isu-isu tertentu, misalnya perkembangan internet, malah menempatkan sektor swasta (korporasi dan pemiliknya) memiliki posisi tawar lebih tinggi dibanding negara.
Elon Musk dengan korporasi globalnya tidak dapat disangkal telah menjadi salah satu orang terpenting di dunia. Elon telah masuk di agenda berbagai pimpinan negara yang harus ditemui ketika berkunjung ke Amerika Serikat (AS).Â
Presiden Jokowi dan PM Prancis Emmanuel Macron, misalnya, merasa perlu bertemu Elon dan membicarakan isu-isu strategis.
Kecenderungan pertama itu memunculkan pesimisme kedua, yaitu semakin pudarnya sentralitas negara atau pemimpin negara di tingkat global.Â