Negara selanjutnya yang memiliki persentase tertinggi adalah Selandia Baru (33%), disusul Korea Selatan dan Jepang (25%), China, Australia, Pakistan, Taiwan (20%). Selanjutnya negara-negara di Asia Tenggara, seperti Malaysia (13%), Vietnam dan Thailand (10%), Filipina (8%), dan Indonesia 3%. Daftar itu berasal dari laporan Bloomberg.
Selain itu, krisis ekonomi Sri Lanka juga disebabkan oleh lebih tingginya tingkat hutang terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 107%. Cadangan devisa Sri Lanka terlalu rendah untuk dipakai sebagai jaminan pasokan pangan dalam beberapa bulan ke depan. Angka devisa 27,5 Triliun (44,5% dari hutang jatuh tempo) memaksa Sri Lanka tidak mampu lagi mengimpor gandum, bahan bakar, dan obat-obatan.Â
Kenyataannya, produk gandum merupakan bahan utama bagi kebutuhan dasar pangan warga Sri Lanka. Kondisi ini tak pelak menjadikan protes masyarakat semakin tinggi dan intens kepada pemerintah.
Selanjutnya, banyak kebijakan pemerintahan Gotabaya cenderung membatasi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Setelah mengurangi bahkan menghentikan impor gandum, pemerintah meminta masyarakat mengurangi jam kerja demi menghemat konsumsi bahan bakar (BBM). Selanjutnya, pemerintah juga terpaksa memadamkan listrik hampir setiap hari.Â
Memburuknya kondisi sosial-ekonomi itu ternyata juga diperparah dengan dominasi politik keluarga Presiden Gotabaya Rajapaksa. Dalam pemerintahan Gotabaya ini, keluarga Presiden juga menjabat sebagai Menteri Keuangan dan posisi penting lain.Â
Persaingan politik yang telah mengakar dalam demokrasi di Sri Lanka ternyata hanya memungkinkan politik mampat di kelompok tertentu. Krisis politik itu menyebabkan rakyat Sri Lanka menyerbu dan menduduki Istana Presiden.Â
Akibatnya, krisis ekonomi secara cepat berubah menjadi krisis politik dan berujung pada penggulingan kekuasaan Presiden Gotabaya. Presiden yang semula ingin mengundurkan diri terpaksa melarikan diri ke Maladewa dan, bahkan, hingga ke Singapura.
Presiden Gotabaya sebenarnya baru berkuasa pada 2019. Sepuluh tahun sebelumnya, politik Sri Lanka berjalan relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi dan pariwisata membuat negeri itu menjadi target investasi berbagai negara, termasuk China.Â
Namun demikian, stabilitas domestik Sri Lanka memang tidak bisa dikatakan memiliki indikator ekonomi politik bagus. Pada 2019, negeri itu mendapat serangan bom di 8 tempat sekaligus. Tiga gereja, 4 hotel, dan 1 pemukiman menjadi serangan teroris pada saat yang sama.
Faktor Eksternal