ASEAN menghadapi jalan buntu dalam diplomasi damainya menyelesaikan krisis Myanmar. Sebaliknya, junta militer Myanmar selalu menolak peta jalan ASEAN. Berbagai cara telah ditempuh, tetapi gagal mendapatkan respon positif dari junta Myanmar. Akibatnya, muncul usulan untuk mengeluarkan Myanmar dari ASEAN.
Usulan, atau lebih tepatnya, tekanan kepada ASEAN, telah disuarakan berbagai pihak sejak pertengahan tahun 2021 lalu. Tekanan itu muncul lagi di awal April ini. Berbagai organisasi hak azasi manusia (HAM) dan beberapa anggota parlemen internasional telah mengusulkan langkah itu.
Kelompok pengusul itu berpandangan bahwa doktrin non-intervention ASEAN telah melemahkan posisi ASEAN dalam menghadapi junta Myanmar.
Doktrin ini mungkin diperlukan di masa lalu, tetapi di masa kini doktrin itu dianggap sebagai penghalang utama bagi pengembangan demokrasi partisipatif dan perlindungan hak-hak dasar rakyat ASEAN.
Diplomasi Tanpa Hasil
Setahun lebih krisis Myanmar belum menemukan solusi terbaik bagi rakyat negara itu. Diplomasi ASEAN tidak memberi hasil memuaskan.
Hingga awal April ini, ASEAN dan Myanmar dapat dikatakan menemui jalan buntu. Tidak ada kemajuan berarti dalam proses perdamaian di Myanmar.
Yang ada hanya pergantian pejabat yang menduduki posisi utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, yaitu dari Menlu Brunei ke Menlu Kamboja.Â
Sebagaimana diketahui bersama, ASEAN sebenarnya telah bersepakat dengan pimpinan kudeta Myanmar tentang peta jalan damai, yaitu lima konsensus ASEAN pada April 2021. Namun demikian, Myanmar selalu menghindari penerapan konsensus itu.Â
ASEAN menekan Myanmar lebih keras melalui kebijakan pengucilan Myanmar dari berbagai forum pimpinan organisasi regional itu.
Junta Myanmar merespons tekanan ASEAN dengan tidak mengirimkan perwakilan para pertemuan tingkat tinggi ASEAN dan dengan negara-negara mitra, seperti Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa.
Pergantian keketuaan ASEAN dari Brunei Darussalam pada 2021 ke Kamboja di 2022 tidak membuahkan hasil positif bagi perdamaian Myanmar.
ASEAN terpecah dan berbeda pendapat mengenai Myanmar. Brunei didukung Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina cenderung bersikap keras kepada Myanmar. Sementara itu, Kamboja, Laos, dan Vietnam lebih memilih diam.
Konsekuensinya, langkah Kamboja sebagai ketua ASEAN di 2022 ini juga belum menunjukkan hasil positif. Upaya Perdana Menteri (PM) Kamboja, Hun Sen, mengajak Myanmar mematuhi lima konsensus bisa dianggap tidak berhasil. Bahkan langkah Kamboja disinyalir tanpa mempertimbangkan posisi atau berkonsultasi Ketua ASEAN sebelumnya (yaitu, Brunei) dan Ketua ASEAN 2021, Indonesia.Â
Kunjungan PM Hun Sen tidak diimbangi dengan kepatuhan junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing terhadap lima konsensus ASEAN. Myanmar tetap tidak bergeming dengan ajakan Kamboja.
Akibatnya, Kamboja terpaksa melanjutkan cara ASEAN dalam mengucilkan Myanmar, termasuk para pertemuan menteri luar negeri se-ASEAN baru-baru ini.
Namun demikian, kesepakatan mengenai peta jalan damai yang disepakati para pemimpin ASEAN, termasuk pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, tidak dijalankan Myanmar.
Sejauh ini, upaya ASEAN membantu Myanmar belum berjalan lancar. Salah satu indikatornya adalah hampir semua poin konsensus yang dicapai ASEAN dengan Myanmar tidak kunjung terwujud. Dari lima poin konsensus, baru penunjukan utusan khusus ASEAN yang terwujud pada Agustus 2021.Â
Adapun empat konsensus lainnya belum jalan, yakni penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, dialog antara pihak di Myanmar dengan difasilitasi utusan khusus, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan penghentian kekerasan. Hingga kini, junta Myanmar tidak menunjukkan niat dan kemauan melaksanakan keempat poin konsensus lainnya.Â
Beberapa Pilihan
Kecil kemungkinan ASEAN mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan di organisasi regional itu. Pertimbangan itu didasarkan pada kenyataan bahwa ASEAN tidak memiliki ketentuan khusus dalam Piagam ASEAN (ASEAN Charter) mengenai cara-cara untuk membatalkan atau mengeluarkan negara-negara anggotanya.Â
Kenyataan itu menyebabkan setiap upaya untuk menangguhkan keanggotaan Myanmar hanya dapat dilakukan jika ada dukungan bulat dari semua kepala negara/pemerintahan anggota ASEAN.
Selain itu, usulan menangguhkan keanggotaan Myanmar di ASEAN tampaknya tidak akan disepakati oleh para pemimpin negara-negara anggota ASEAN lainnya. Ke-9 negara anggota ASEAN diyakini berpandangan lebih baik Myanmar tetap berada di dalam ketimbang di luar ASEAN. Lokasi geografis dan kedekatan tradisional Myanmar dengan China menjadi pertimbangan ASEAN.
Pertimbangan lainnya adalah bahwa ASEAN secara tradisional tidak memiliki persyaratan mengenai bentuk pemerintahan negara anggotanya. Kenyataan bahwa ke-9 anggota lainnya memiliki bentuk pemerintahan dan sistem politik berbeda menjadikan usulan mengeluarkan Myanmar tidak dapat dilakukan dengan mudah.
Dinamika hubungan antara ASEAN dan Myanmar memang memperlihatkan bahwa jalan perundingan tampaknya sudah berakhir atau menemui jalan buntu. Sikap ASEAN terhadap Myanmar selalu menjadi perhatian negara-negara di kawasan. China, India, dan negara lain yang berbatasan dengan Myanmar masih menimbang sikap keras terhadap Myanmar.Â
Akibatnya, sebuah mekanisme baru atau alternatif diperlukan untuk memobilisasi sumber daya regional demi mencegah krisis Myanmar semakin memburuk dan menimbulkan lebih banyak korban.
Mekanisme alternatif itu, pertama, adalah kemungkinan melibatkan partisipasi kelompok-kelompok non-negara di kawasan ini. Salah satunya mendorong mekanisme regional yang telah dibangun ASEAN sendiri, yaitu ASEAN Intergovernmental Committee on Human Rights (AICHR).Â
Pilihan alternatif kedua adalah melibatkan junta militer untuk mengembalikan demokrasi di Myanmar. Selain alasan inklusivitas, partisipasi junta ditujukan untuk memastikan mereka terikat lebih pada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat.
Upaya-upaya lain bisa dengan cara melibatkan organisasi internasional atau negara lain di luar kawasan Asia Tenggara, seperti PBB.
Namun demikian, pilihan terakhir ini sangat sensitif dan selalu dihindari ASEAN. Prinsip sentralitas selalu dipegang ASEAN karena menempatkan ASEAN sebagai pengelola utama bagi konflik dan kerjasama di Asia Tenggara.Â
Dengan prinsip sentralitas itu, ASEAN tidak bakal menangguhkan keanggotaan atau mengeluarkan Myanmar. Bagi ASEAN, keanggotaan Myanmar tetap memberikan peluang bagi ASEAN untuk menyelesaikan krisis di negara itu.
Semua pilihan itu, akhirnya, sangat tergantung pada junta militer Myanmar. Sejauh mana junta militer Myanmar menempatkan ASEAN dalam hubungan internasionalnya akan sangat menentukan sikap dan tindakannya.Â
Myanmar sudah menjadi anggota ASEAN selama hampir seperempat abad. Banyak manfaat telah diperoleh Myanmar sebagai anggota ASEAN.
Oleh karena itu, Myanmar harus segera mempertimbangkan kepatuhannya pada lima poin konsensus ASEAN dan membuka dialog dengan ASEAN.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H