Rasa dapat dikatakan bisa memberikan sentuhan pada karya dalam bentuk tulisan. Ada semacam roh yang membuat tulisan itu hidup. Dengan rasa, sebuah tulisan memiliki jiwa. Tulisan itu berinteraksi dengan pembaca. Bahkan tulisan itu mendekat ke atau menyapa pembaca. Dalam bahasa sekarang, tulisan bisa membumi.
Sejak Oktober 2020, saya mulai menulis di Kompasiana. Walau sudah terdaftar beberapa tahun sebelumnya, saya merasa tidak bisa menulis ketika itu. Sekian 'nyawa' perlu saya kumpulkan untuk memulai 'karir' menulis di blog keroyokan ini pada 2020 lalu. Sebuah blog milik grup media besar di Indonesia dan pembaca potensial yang sangat banyak. Itu adalah rasa pertama.
Rasa kedua adalah membuat tulisan-tulisan di luar zona nyaman saya. Isu-isu mengenai hubungan internasional menjadi zona nyaman tulisan-tulisan saya sebelum bergabung di Kompasiana. Peluang menulis di koran lokal, regional, dan portal opini online biasanya berkisar di isu-isu internasional itu.Â
Perubahan besar terjadi sejak bergabung di Kompasiana. Rasa itu mulai muncul ketika harus menulis topik-topik pilihan, seperti ghosting, self reward, belanja online, quarter life crisis, dan seterusnya. Saya tidak mungkin menuliskannya di media lain karena selalu menyebutkan profesi saya. Ini artinya tulisan-tulisan saya harus sesuai menjelaskan profesi itu.
Rasa ketiga, komitmen menulis setiap hari. Kompasiana memungkinkan menulis satu artikel atau lebih setiap hari. Semakin banyak menulis semakin mengasah rasa di setiap tulisan. Apalagi jarang atau tidak pernah ada isu internasional menjadi topik pilihan.Â
Kenyataan itu memaksa saya bernegosiasi dalam ide-ide untuk menulis. Tidak dapat disangkal bahwa topik pilihan Kompasiana menjadi ide untuk menulis.Â
Meski begitu, topik pilihan yang ditawarkan seringkali menyulitkan saya. Akibatnya saya tidak selalu membuat tulisan berdasarkan topik pilihan. Keinginan memunculkan rasa itu membuat saya menulis topik pilihan dengan konteks waktu di masa lalu atau jaman dulu (jadul).
Rasa keempat, muncul kebiasaan membaca berbagai tulisan di Kompasiana sebelum membuat tulisan. Apalagi jika tulisan itu berkaitan dengan topik pilihan. Dengan cara ini, saya belajar cara Kompasianer menggunakan rasa khusus atau tertentu di tulisan-tulisan mereka.Â
Sementara itu, membaca media lain masih dilakukan berkaitan dengan isu-isu hangat atau viral terkait hubungan internasional.
Keempat rasa itu mengiringi kemampuan menulis saya selama ini. Rasa itu sifatnya unik dan personal, sehingga berbeda dari satu penulis ke penulis lainnya. Bagi penulis tertentu, menulis hanya dilakukan ketika perasaan sedang gembira dan senang. Bagi penulis lain, rasa sedih dan galau justru mendorong banyak gagasan untuk menulis.
Sementara itu, saya cenderung tidak terpengaruh dengan suasana hati itu untuk menelurkan banyak gagasan dalam menulis. Senang atau sedih biasanya memberikan ide untuk menulis.