Apa hubungan kue atau roti ganjel rel dengan tradisi dugderan menjelang dimulainya bulan puasa di Semarang?
Ternyata kue itu dibagikan kepada masyarakat setelah bedug ditabuh sebagai penanda berawalnya bulan Ramadhan. Selain itu juga ada pembagian air Khataman Al-Quran.
Paduan antara kue ganjel rel dan air Khataman tersebut diyakini dapat menguatkan diri dalam menjalankan ibadah puasa.
Tentu saja kue ini tersedia sepanjang masa di toko-toko roti atau pertokoan oleh-oleh di kota itu.
Hanya saja nama yang tertulis di bungkusan biasanya adalah Gandjelrel. Ada juga tambahan kata-kata, seperti Koewih Tempo Doeloe yang tertera di gambar bawah ini.
Ganjel Rel yang wangi
Lalu, apa itu kue ganjel rel? Rasanya bagaimana?
Sebagai sebuah kata dalam bahasa Jawa 'ganjel' itu berarti pengganjal. Ini tentu saja bukan pengganjal atau bantalan rel yang dipakai untuk jalan kereta api, lho. Bagi orang Semarang, ganjel atau pengganjal rel itu bisa dimakan...hehehe.
Bentuknya panjang, berwarna cokelat gelap dan teksturnya keras. Ada juga yang menyebut tekstur kue ini bantat. Ganjel rel ini adalah roti khas dari kota Semarang.
Ganjel rel ini menjadi istilah yang sangat populer untuk disematkan ke roti khas dari ibukota provinsi Jawa Tengah ini. Di kota lain, roti ini dikenal dengan nama roti gambang.
Kue ini berbeda dengan roti kegemaran orang Indonesia pada umumnya yang biasanya empuk. Tekturnya yang cenderung keras dan bantat itu malah terasa enak, jika disantap bersama secangkir teh hangat atau kopi hitam yang pahit.
Orang Semarang biasanya menikmatinya dengan cara dicelup dulu ke dalam kopi atau teh hangat hingga roti agak lembek baru digigit. Gigit sedikit demi sedikit seolah sayang kalau dimakan sekali langsung masuk mulut. Dijamin kenyang! Saran lain adalah tidak perlulah ganjel rel ini diputar-putar sebelum dilahap, seperti iklan sebuah roti di televisi itu.
Konon, keberadaan roti ganjel rel itu kini sudah semakin langka, tetapi dengan informasi dari mulut ke mulut biasanya berhasil menemukan tempat roti ini dijual. Beberapa penjual roti ini mulai mempertimbangkan selera pasar, sehingga ada penyesuaian bentuk, rasa, dan seterusnya.
Dugderan di Semarang
Menjelang bulan puasa, kota Semarang biasanya diramaikan dengan semacam pasar malam selama beberapa hari. Ketika masih kecil, pasar malam dugderan ini menjadi salah satu 'pasar' favorit yang saya tunggu-tunggu.
Pasar malam dugderan tersebut menjadi semacam tempat hiburan bagi saya dan teman-teman. Kebetulan rumah saya dekat dengan tempat dugderan ini, yaitu di daerah pasar Johar.Â
Di hari terakhir dugderan itu yang merupakan sehari sebelum bulan Ramadhan diadakan karnaval atau arak-arakan Warak Ngendhog. Pada bagian akhir arak-arakan itu dibagikan roti ganjel rel dan air khataman itu kepada masyarakat. Jumlahnya yang terbatas menyebabkan masyarakat berebut mendapatkan roti ganjel rel itu.
Bisa dipahami jika di tradisi dugderan, roti ganjel rel menjadi semacam ikon penting bagi masyarakat Semarang di setiap tahunnya. Kehadiran roti ganjel rel menjadi simbol tak ada gangguan dengan harapan dapat memperkuat diri selama kurang lebih sebulan menjalankan ibadah puasa.
Tradisi Kirab Budaya Dugderan di Semarang selalu berlangsung meriah dengan ciri khas mengarak ikon lain kota Semarang, yaitu Warak Ngendhog.
Warak ini merupakan hewan fantasi yang menjadi simbol bagi kerukunan antar-etnis di ibu kota Jawa Tengah itu. Mulai dari kepala naga yang menjadi simbol etnis Tionghoa, badan unta menyimbolkan etnis Arab, dan kaki kambing menjadi simbol bagi orang Jawa.
Dug dug dug! Duer! Dari bunyi bedug dan meriam itulah konon asal-usul dari nama Dugder tercipta sejak tahun 1881 padasaat Pemerintahan Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat.
Ribuan kue ganjel rel sudah disiapkan untuk menjadi Rebutan warga kota Semarang. Ramai, kan? Jika puasa dimulai hari Selasa lusa, maka tradisi dugderan dengan pembagian roti ganjel rel diadakan esok hari.Â
Masa Pandemi
Pada 2021 ini, pandemi Covid-19 ternyata menyebabkan tradisi Dugderan menjelang bulan Ramadan di Kota Semarang tahun ini harus mengalami penyesuaian. Jika diselenggarakan, tradisi itu digelar tanpa keramaian seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada pawai dan arak-arakan Warak Ngendhog lagi gara-gara pandemi melanda.Â
Namun begitu, roti ganjel rel tetap ada bagian akhir di tradisi dugderan itu jika besok jadi diselenggarakan.Â
Akhirnya, roti ganjel rel tetap tersedia dan bisa dibeli di beberapa toko oleh-oleh di kota Semarang, walaupun pandemi 'berkeliaran.' Jangan kuatir:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H