Tiga puluh dua tahun pemerintahan Presiden Suharto telah berkontribusi dalam meletakkan landasan bagi politik luar negeri (PLN) yang dipraktekkan Indonesia pada masa kini. Definisi sederhana dari PLN adalah serangkaian strategi yang dirancang oleh para pembuat kebijakan negara dalam menghadapi negara lain atau isu internasional tertentu demi mencapai tujuan atau kepentingan nasionalnya.
Dalam perencanaan dan pelaksanaannya, PLN membutuhkan dukungan aktor untuk menentukan arah atau orientasi PLN itu ke depan. Dalam konteks Indonesia, aktor utama itu adalah Presiden Republik Indonesia, sejak Soekarno hingga Joko "Jokowi" Widodo. Selain sebagai Presiden Indonesia, mereka semua merupakan representasi Indonesia di semua forum diplomasi.
Sejak pemerintahan Presiden Sukarno hingga Jokowi, setiap pemerintahan memiliki orientasi PLN yang berbeda. Perubahan tatanan internasional dan situasi domestik menjadi faktor-faktor penting dalam menentukan kebijakan atau politik luar negeri sebuah negara, termasuk Indonesia.Â
Praktek diplomasi Indonesia selama ini menunjukkan bahwa perubahan orientasi PLN harus tetap memperhatikan tujuan nasional atau kepentingan nasional Indonesia. Maksudnya adalah bahwa diplomasi sebagai pelaksanaan dari kebijakan luar negeri harus membawa manfaat bagi kepentingan nasional, baik secara politik maupun ekonomi.Â
Diplomasi tidak sekedar praktek negosiasi atau representasi Indonesia dalam hubungan internasional demi meningkatkan citra Indonesia di dunia internasional, namun harus memberi manfaat bagi rakyat Indonesia.Â
Ini sejalan dengan pembukaan UUD 1945 mengenai tujuan kita berbangsa, yaitu menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Oleh karena itu, para founding fathers Indonesia menempatkan politik luar negeri sebagai alat perjuangan dalam membangun nasionalisme dan globalisme.
Orientasi PLN
Perbedaan orientasi PLN tersebut merupakan bagian penting dari upaya sebuah pemerintahan untuk menanggapi struktur internasional dan domestik yang berlangsung pada masa pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan Sukarno, orientasi PLN lebih kental berorientasi ke Uni Soviet (US). Salah satu capaian penting pada masa itu adalah bantuan atau dukungan US bagi Angkatan Laut RI. Hasilnya adalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekuatan laut terbesar di Asia pada masa itu.
Orientasi itu juga mendorong Indonesia untuk keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Presiden Sukarno menyatakan Go to Hell with Your Aid kepada Amerika Serikat (AS), dan Indonesia menjadi penggagas gerakan Non-Blok (GNB/Non-Aligned Movement).Â
Ada yang mengatakan bahwa pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, politik adalah panglima. Orientasi PLNI lebih mengedepankan pada berbagai pertimbangan politik domestik dan internasional, sehingga mengabaikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi pada masa itu.
Sebaliknya, pemerintahan Suharto lebih mengedepankan orientasi ekonomi sebagai panglima dalam PLNI. Melihat kondisi ekonomi pada masa Orde Lama, pemerintahan Suharto memberi prioritas pada pemulihan hubungan dengan AS dan negara-negara Barat sebagai upaya membenahi perekonomian domestik. Dengan orientasi PLN ini, pemerintahan Suharto tidak lagi menganggap US dan China sebagai aktor penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Masa Presiden Suharto
Pada masa pemerintahan Suharto, aktivisme diplomasi Indonesia berjalan dengan baik dalam menjalin hubungan dengan berbagai negara, organisasi internasional, dan aktor-aktor ekonomi yang mendukung investasi dan pembangunan ekonomi Indonesia. Setelah era Bung Karno yang berapi-api di panggung internasional, Indonesia memiliki Presiden Suharto dengan karakter berbeda, yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Atau juga dikenal dengan low profile diplomacy.
Meskipun begitu, pemerintahan Suharto tetap bisa menunjukkan peran dan pengaruh penting Indonesia pada berbagai forum diplomasi. Beberapa nama penting yang berpengaruh dalam mendesain PLN pada masa Orde Baru, antara lain Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, dan Ali Alatas.
Agenda politik luar negeri Orde Baru pada tahun 1980-an didominasi dengan berbagai upaya diplomasi dalam rangka menunjukan eksistensi Indonesia pada tingkat Internasional. Indonesia menyelenggarakan beberapa agenda internasional, seperti peringatan 30 tahun Konperensi Asia Afrika (KAA, 1985), Jakarta Informal Meeting (JIM, 1988), normalisasi hubungan ddengan China (1990), menjadi ketua GNB (1992) dan ikut serta dalam APEC (1994). Selain itu, kontribusi diplomasi Orde Baru dapat dilihat pada pembentukan ASEAN, peran penting Indonesia di PBB, dan dominasi Indonesia di Sea Games.
Peran dominan negara
Ulasan di atas menunjukkan ada satu karakteristik penting dari PLN Indonesia pada masa Orde Baru, yaitu dominasi negara sebagai aktor utama dalam diplomasi Indonesia.Â
Dominasi itu bersumber pada dua faktor, yaitu pertama, struktur politik domestik Orde Baru. Struktur politik yang otoriarian itu memberikan peluang politik itu kepada negara. Sedangkan aktor-aktor non-negara belum memiliki kemampuan signifikan untuk menyaingi peran dan pengaruh negara dalam menjalankan diplomasi.
Faktor kedua adalah struktur internasional. Berbeda dengan struktur internasional sekarang, pada waktu itu persaingan internasional antara AS dan US tidak mempedulikan struktur domestik atau bentuk pemerintahan sebuah negara. Dukungan sebuah negara kepada salah satu kekuatan global itu (AS atau US) dipandang menjadi jauh lebih penting, sehingga otoritarianisme di negara pendukungnya tidak menjadi masalah.Â
Kedua faktor itu menjadi penentu bagi munculnya dominasi negara sebagai satu-satunya aktor dalam politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Suharto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H