Berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya (1998-2004), pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih leluasa dalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Struktur politik domestik pada saat itu telah memungkinkan SBY menjalankan pemerintahannya secara penuh, yaitu lima tahun.
Pada masa 1998-2004, tiga pemerintahan ---BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Sukarnoputri--- harus menghadapi persoalan reformasi ekonomi dan demokratisasi yang dinamis, yang berujung pada berakhirnya pemerintahan berdasarkan kepentingan-kepentingan politik. Akibatnya, faktor-faktor domestik itu mempengaruhi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa itu.
Kenyataan itu mendorong pemerintahan SBY menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih berorentasi ke luar. SBY meyakini keterlibatan secara bebas dan aktif dalam berbagai inisiatif multilateral merupakan cara paling konstruktif untuk memenuhi kepentingan nasional Indonesia. Pidato pengukuhannya pada 2009 menggambarkan pandangan strategis kebijakan luar negeri pemerintahan SBY, bahwa “Indonesia sedang menghadapi lingkungan strategis dimana tidak ada negara yang memandang Indonesia sebagai musuh dan tidak ada negara yang Indonesia anggap sebagai musuh. Dengan demikian Indonesia dapat menjalankan politik luar negerinya dengan bebas ke segala arah, memiliki “million friends, zero enemy.”
Bagi Indonesia, doktrin atau prinsip million friends, zero enemy dapat mendorong peningkatan perdagangan dan investasi asing. Namun demikian, keterlibatan Indonesia yang semakin meningkat dengan komunitas internasional harus tetap berdasarkan pada preferensi historis mengenai netralitas.
Modalitas domestik menjadi landasan penting pemerintahan SBY menjalankan aktivisme global. Modalitas domestik itu berupa demokrasi melalui pemilihan umum yang bebas dan minimal konflik, penjaga perdamaian (peacemaker) misalnya dalam Aceh Peace Accord, dan kompatibilitas Islam dan demokrasi.
Ketiga modalitas itu bahkan ditransformasikan dari identitas nasional menjadi identitas global/internasional dalam diplomasi Indonesia. Dengan menggunakan ketiga modalitas domestik itu, pemerintahan SBY lebih asertif dan percaya diri dalam menjalankan politik luar negeri (PLN) yang bebas dan aktif.
Pemulihan ekonomi dan demokratisasi memberikan struktur kesempatan baru bagi SBY untuk melakukan re-orientasi dalam praktek PLN-nya. Pemerintahan SBY menyadari perubahan mendasar dalam lingkungan internasional pada saat itu.
Beberapa perubahan itu berkaitan dengan, pertama, aktor global yang melibatkan aktor non-negara. Dalam beberapa kasus, aktor non-negara memiliki kemampuan melebihi aktor negara yang berdaulat. Kedua, ancaman berkembang dari tradisional (fisik dan militer) menjadi non-tradisional (non-fisik dan non-militer). Perubahan ketiga, yaitu bahwa ancaman itu bersifat lintas-batas negara. Oleh karena itu, aktivisme global diplomasi Indonesia diarahkan untuk mendorong upaya mendapatkan sebanyak mungkin teman dan nir-musuh.
Aktivisme global meningkatkan keberanian diplomasi Indonesia untuk ikut berperan langsung dalam mendukung stabilitas dan perdamaian. Di tingkat ASEAN, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa mengunjungi berbagai kamp pengungsi di wilayah Myanmar, termasuk Rakhine, pada 7-8 Januari 2013. Indonesia juga memainkan peran penting dalam menjadikan Myanmar sebagai ketua ASEAN 2014.
Di bawah SBY, ASEAN menjadi semacam landasan dan andalan bagi politik luar negeri Indonesia. SBY meyakini bahwa 'ASEAN harus terus menjadi center of gravity dari proses integrasi', yang akan melihat berlanjutnya Komunitas ASEAN. SBY mendorong peran Indonesia sebagai pembentuk norma dan rezim regional. Pada tahun 2013, Menlu Marty menegaskan, 'Indonesia selalu memproyeksikan dirinya sebagai bagian dari solusi' di ASEAN.
Aktivisme global Indonesia mendapat pengakuan internasional. Selain sebagai Ketua ASEAN 2011, Indonesia juga aktif berpartisipasi sebagai Ketua APEC 2013, Ketua Presidium bersama dalam High-Level Panel on Achieving MDGs, anggota G20, dan forum multilateral lainnya. Berbagai partisipasi itu memperlihatkan bahwa polugri bebas aktif tidak semata terbatas pada aktor negara atau forum diplomasi tertentu.