Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diary Diplomasi 3: Diplomat di Tengah Belantara Media Sosial

31 Januari 2021   12:28 Diperbarui: 31 Januari 2021   12:31 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memberikan pengaruh besar pada diplomasi dan diplomat. Melalui kementerian luar negeri (Kemlu), pemerintah mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan internet. Negara atau pemerintah berusaha mengakomodasi perkembangan itu dengan mengembangkan diplomasi digital. Semua aktivitas diplomasi dan diplomat secara bertahap memiliki dimensi digitalnya. 

Tugas Diplomat
Diplomasi dan diplomat itu merupakan dua unsur yang saling terkait dalam kebijakan luar negeri. Diplomasi adalah berbagai cara negosiasi atau berunding yang dipakai diplomat untuk menjalankan perannya demi mendapatkan kepentingannya. Sedangkan diplomat adalah pelaku diplomasi. Kabarnya, kata diplomat sudah dikenal sejak akhir abad 18 dengan istilah messengers, heralds, orators, atau negotiators.

Tugas utama dari seorang diplomat adalah bernegosiasi, sebagai perwakilan, dan melaporkan. Begitu pentingnya tugas seorang diplomat sehingga konsekuensi dari negosisasinya, perwakilannya, dan laporannya dapat mempengaruhi hubungan antara negara yang diwakilinya dengan negara lain. Oleh sebab itu, pengaruh diplomat terhadap diplomasi tidak bisa diabaikan begitu saja dalam hubungan internasional yang cepat berubah.

Di jaman internet seperti sekarang ini, negara atau pemerintah ‘hadir’ melalui websites dan berbagai aplikasi media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Linkedin, dan semacamnya.  Media sosial itu menjadi semacam halaman depan bagi negara untuk menyampaikan berbagai informasi. Pada gilirannya, diplomasi dan diplomat harus menyesuaikan diri untuk tetap mampu menjalankan hubungan internasional di era siber ini.

Perkembangan diplomasi, dari yang lama menjadi diplomasi baru, lalu muncul diplomasi modern dan digital telah memberikan perubahan signifikan pada jumlah aktor, perluasan isu, dan karakteristik lainnya. Negara bukan lagi satu-satunya aktor dalam diplomasi. 

Ada banyak aktor non-negara telah muncul dan memberikan pengaruh besar pada diplomasi. Melalui jaringan internet, individu dengan kemampuan internet mampu menimbulkan krisis bilateral dengan cara mengganggu website negara lain. 

Demikian pula dengan perluasan isu-isu diplomasi telah mendorong para diplomat untuk memiliki kemampuan mempelajari hal-hal baru. Pandemi Covid, misalnya, telah memaksa para diplomat untuk belajar mengenai kaitan antara isu kesehatan dengan kebijakan luar negeri dan diplomasi. 

Muncul istilah diplomasi masker atau diplomasi vaksin untuk menjelaskan kemampuan diplomasi menyesuaikan diri dengan perkembangan pandemi pada saat ini.

Pandemi Covid-19 juga telah meningkatkan pemanfaatan diplomasi digital dalam hubungan internasional. Berbagai pertemuan antar-kepala negara atau pemerintahan diselenggarakan secara virtual melalui video conferencing, baik di tingkat bilateral, regional, dan multilateral.

Media Sosial
Perkembangan strategi dan seni diplomasi semakin menyesuaikan diri dengan dinamika pesatnya teknologi komunikasi dan informasi (Information and Communication Technology/ICT). Selanjutnya, diplomat semakin dituntut memiliki kemampuan adaptif dan kreatif memanfaatkan media sosial.

Facebook berkembang pesat menjadi media sosial populer kedua di antara para pemimpin pemerintah dan mereka memiliki audiens terbesar. Kepala pemerintahan dan Menteri Luar Negeri lebih dari 150 negara sangat aktif memanfaatkan Facebook. Jumlah itu mewakili lebih dari 90 persen dari semua negara anggota PBB. 

Sementara itu, Instagram berada di urutan ketiga untuk pemerintah dengan lebih dari 80 persen dari semua negara anggota PBB telah membuat akun resmi di Instagram. 

Twitter tidak lagi sekedar platform sosial media untuk menyampaikan berita di antara individu di dalam masyarakat tanpa batas nasional. Twitter telah berkembang pesat dan berperan penting dalam dunia diplomasi pula. 

Para pemimpin dunia, termasuk Presiden Joko Widodo, menggunakan twitter untuk menyapa dunia. Pemanfaatan Twitter yang paling efektif dan mempengaruhi publik dapat dilihat pada akun Twitter Presiden AS Donald Trump. Saking berpengaruhnya cuitan Trump, berbagai media sosial (termasuk Twitter dan Facebook) terpaksa memblokir akunnya untuk mencegah tindakan anarkis dari para pendukung Trump pada pelantikan Presiden terpilih AS Joe Biden pada 20 Januari yang lalu.

Situs web seperti twiplomacy.com pada 2018 telah mengidentifikasi 951 akun Twitter. Akun itu terdiri dari 372 akun pribadi dan 579 institusional, yaitu kepala negara dan pemerintah dan menteri luar negeri dari 187 negara. Dengan kata lain, hampir 97% dari semua 193 negara anggota PBB memiliki akun media sosial. Hanya enam negara, yaitu Laos, Mauritania, Nikaragua, Korea Utara, Swaziland (atau Kerajaan Eswatini adalah sebuah negara kecil di selatan Afrika), dan Turkmenistan tidak memiliki akun media sosial.

Persoalan
Hadirnya negara atau pemerintah di media sosial tentu saja telah memberikan manfaat. Ada kemudahan interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, baik di tingkat domestik maupun internasional. Walaupun banyak kontroversinya, akun twitter presiden Trump menunjukkan efektifitas komunikasi langsungnya dengan para pendukungnya.

Sebaliknya, perkembangan diplomasi dan media sosial  juga menimbulkan persoalan tersendiri. Kehadiran negara melalui akun resmi negara atau pemerintah itu menjadikan akun itu semacam simbol atau representasi resmi sebuah negara di jagat online. 

Masalah muncul ketika ada netizen atau hacker yang 'mengganggu' akun media sosial dari sebuah negara. Sejauh mana respon negara sebagai pemilik resmi dari akun media sosial akan menentukan 'kekuatan' negara itu di media sosial. Begitu pula sejauh mana diplomasi dan diplomat merespon kemungkinan 'serangan' itu akan menunjukkan kemampuannya dalam menguasai media sosial.

Kaitan antara diplomat dan media sosial sangatlah menarik dan bersifat dinamis. Tarik-menarik dalam pengertian kemampuan diplomat dan diplomasi dalam memanfaatkan perkembangan TIK, khususnya media sosial dapat mewarnai dinamika hubungan internasional di era internet sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun