Diplomacy goes virtual! Pandemi telah menimbulkan perubahan dan, sekaligus, perkembangan signifikan bagi diplomasi. Tak ada yang menyangka bahwa diplomasi tidak bisa lagi dilakukan melalui pertemuan fisik secara langsung. Gurauan ala Srimulat, “sarapan di Praha, makan siang di Bratislava, dan makan malam di Wina,” tinggal angan-angan sekarang. Akibatnya, diplomasi terpaksa dilakukan secara virtual melalui video conference.
Walaupun kunjungan ke sebuah negara selalu ditinjau ulang, dengan perkecualian khusus kepada pejabat tinggi negara (VVIP), tetap saja diplomasi harus mencari cara alternatif agar interaksi antar-negara bisa tetap berjalan lancar. Kerjasama antar-negara tetap dilakukan di tengah keterbatasan mobilitas manusia karena kebijakan lockdown nasional. Selain itu, penemuan mutasi virus baru di Inggris dan beberapa negara lain telah menambah keyakinan bahwa diplomasi virtual bakal menjadi satu-satunya cara menjalankan kebijakan luar negeri.
Sebelum pandemi, diplomasi virtual hanya pelengkap atau pendukung bagi diplomasi langsung. Apalagi situasi krisis hubungan antar-negara tidak mungkin diselesaikan dengan menggunakan diplomasi virtual. Sekarang, pandemi telah menjadikan diplomasi virtual menjadi cara utama dalam hubungan internasional. Diplomasi virtual menjadi primadona.
Beberapa Capaian
Buktinya? Apakah diplomasi virtual di masa pandemi ini mampu menghasilkan berbagai kesepakatan di tingkat bilateral, regional, dan multilateral? Mari kita lihat satu-per satu dengan beberapa contoh diplomasi virtual yang dijalankan Indonesia sepanjang hampir satu tahun pandemi Covid-19.
Pertama, diplomasi bilateral antara Indonesia dan China secara virtual. Isu-isu yang menjadi agenda meliputi kerjasama bilateral dalam pengembangan vaksin. Diplomasi virtual bahkan mampu mendorong kerjasama tidak hanya di tingkat antar-pemerintah, namun hingga tingkat antar-BUMN, yaitu antara Bio Farma dan Sinovac. Pengiriman vaksin Sinovac dari China ke Indonesia merupakan hasil kongkrit dari diplomasi virtual kedua negara.
Kedua, diplomasi regional secara virtual pada KTT khusus tentang respon terhadap pandemi antara ASEAN dan China. Melalui forum virtual itu, China berkomitmen mendukung upaya regional ASEAN menangani pandemi. Selain itu, KTT ke-35 ASEAN pada Juni 2020 dan KTT ke-36 ASEAN di November 2020 yang membahas kerjasama penanganan pandemi, pembentukan travel corridor untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pamdemi. Termasuk di KTT ASEAN adalah rangkaian KTT virtual ASEAN-UE, ASEAN-PBB, dengan negara-negara mitra strategis seperti AS, China, Jepang, Korea Selatan.
Ketiga, diplomasi multilateral melalui pertemuan virtual yang diselenggarakan CEPI dan GAPI di bawah otoritas WHO. Tujuannya adalah mendorong multilateralisme vaksin bagi semua penduduk dunia. Diplomasi virtual juga diberlakukan pada Sidang Umum PBB pada September 2020 yang lalu untuk pertama kalinya. Salah satu bukti keberhasilan diplomasi virtual adalah kesepakatan perdagangan bebas di antara 15 negara di Asia Pasifik membentuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Contoh-contoh di atas masih dapat ditambah dengan berbagai kesepakatan lain yang dihasilkan dari berbagai forum diplomasi virtual lain. Forum-forum diplomasi virtual itu diadakan berbagai negara, organisasi regional dan multilateral lainnya di dunia ini mengenai berbagai isu mendesak, termasuk penanganan pandemi, penemuan vaksin Covid-19, dan distribusi vaksin tersebut.
Tantangan
Meskipun demikian, meningkatnya praktek diplomasi virtual masih menimbulkan keraguan. Perkembangan diplomasi virtual beserta capaiannya memang tidak serta serta mengubah cara pandang para diplomat terhadap arti penting dari diplomasi langsung. Bagi mereka, diplomasi langsung dipandang lebih efektif dalam hubungan antar-negara, khususnya dalam menyelesaikan krisis HI. Pertemuan langsung dalam sidang-sidang perundingan dianggap memiliki peran lebih baik dalam mendorong kerjasama dan berpotensi mengurangi kekurangpahaman di antara para delegasi perwakilan negara ketimbang hanya lewat video conference.
Selain itu, mereka menganggap pandemi ini bersifat sementara, termasuk diplomasi virtual juga hanya digunakan pada masa pandemi ini saja. Pada saatnya nanti di masa depan, praktek diplomasi langsung akan kembali menjadi mekanisme utama dalam menjalankan kebijakan luar negeri. Pemerintah melalui kementerian luar negeri masing-masing mungkin juga akan menggunakan cara diplomasi virtual dan/atau langsung dalam konteks saling melengkapi, bukan saling menggantikan atau meniadakan. Pemerintah akan menentukan faktor-faktor apa saja yang dijadikan pertimbangan sebuah perundingan atau konperensi dilakukan secara langsung atau virtual.
Perkembangan situasi itu menuntut para diplomat untuk mampu menyesuaikan diri dalam menjalankan kebijakan luar negeri, baik secara langsung maupun virtual. Oleh karena itu, masa pandemi ini telah menjadikan diplomasi virtual sebagai primadona bagi peningkatan kerjasama dalam hubungan internasional.