Diary kuliah hari ke-7,
Selamat malam,
Catatan kuliah ini melanjutkan tema hari ke-2 tentang Realisme dan Covid-19. Setelah tertunda beberapa hari karena ikut blog competition 'Petasan', hari ini dilanjutkan dengan tema: liberalisme dan Covid-19.
Pertanyaannya adalah bagaimana pendekatan liberalisme menjelaskan fenomena pandemi Covid-19 ini dalam dinamika hubungan internasional?
Serupa dengan realisme, liberalisme termasuk pendekatan arus utama (mainstream) dalam hubungan internasional. Satu pendekatan maintream lain, yaitu konstruktivisme, menyusul di hari lain. Ketiga pendekatan ini biasanya menjadi bahasan utama dalam tiga kuliah pertama di kelas saya, seperti di matakuliah Politik Luar Negari Indonesia (PLNI) dan Rusia (PLNR).
Perkembangan global dari pandemi Covid-19 ini tentu saja menarik untuk dibahas dari pendekatan liberalisme dalam hubungan internasional (HI).
Salah satu dampak paling mendasar dari pandemi ini adalah menguatnya peran negara. Akibat lanjutannya adalah negara bertindak atas nama kepentingan nasional untuk melindungi warganegaranya. Negara-negara menerapkan kebijakan lockdown, yaitu penutupan perbatasan atau bandara atau pintu-pintu internasional, warga asing dilarang masuk dan warga sendiri dilarang ke negeri, dan kebijakan serupa lainnya.
Berbagai kebijakan negara yang nasionalistik dan unilateral (sepihak) ini secara jelas bertentangan dengan kecenderungan liberalisasi atau globalisasi hingga sebelum pandemi menyebar di awal 2020.
Selanjutnya, saya tuliskan pernak-pernik singkat tentang liberalisme dalam HI. Setelah itu, saya bahas kaitan antara liberalisme dengan Covid-19.
Pendekatan Liberalisme
Salah satu penanda utama liberalisme dalam hubungan internasional adalah kemudahan mobilitas empat (4) faktor produksi ---barang, jasa, modal/uang, dan manusia--- melintas batas-negara. Kemudahan mobilitas itu bentuknya bisa pengurangan atau penghapusan tarif atau biaya ekspor/impor terhadap 4 faktor produksi itu. Tujuan kebebasan pergerakan itu adalah kemakmuran bersama.
Pendekatan liberal mempunyai empat asumsi dasar. Pertama, sifat manusia itu baik, yang berarti manusia mampu untuk bekerja sama. Pendukung liberalis tidak menolak pandangan tentang potensi manusia bertindak agresif dan suka berkonfik atau, bahkan berperang. Meski begitu, kelompok ini berpendapat bahwa tidak mungkin manusia akan berperang selamanya.