Di tengah resesi ekonomi dan dampak ikutan dari pandemi Covid-19, booming membeli pakaian bekas (kembali) di kalangan anak muda atau thrifting menjadi fenomena menarik.
Thrifting merupakan perilaku seseorang melakukan kegiatan jual-beli barang bekas atau secondhand dengan harga jauh di bawah harga normal, termasuk barang bermerek dari luar negeri atau impor.
Walaupun fenomena ini sedang menjadi tren di kalangan milenial pada saat ini, kesenangan pada barang bekas sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Tinjauan sejarah mengenai fenomena dapat ditelusuri hingga akhir abad 20. Sementara itu, dinamika aspek ekonomis dan popularitasnya sebagai bagian dari gaya hidup telah menjadikannya sebagai lahan bisnis.
Di Indonesia, misalnya, Batam sudah lama dikenal sebagai ‘surga’ barang impor, baik yang masih baru maupun bekas. Berbagai daerah di tanah air biasanya memiliki sebuah tempat khusus jual beli barang second.
Bahkan tempat itu juga menjadi ‘pusat’ barang-barang curian diperjualbelikan. Tempat-tempat ini biasanya memiliki image yang cenderung negatif, gelap, berbahaya, dan tidak permanen.
Berangkat dari kondisi itu, kota Yogyakarta, misalnya, mencoba mengubah citra tempat jual-beli barang second itu. Pemerintah kota membangun sebuah gedung permanen, bersih, dan tertata rapi dengan nama Pasar ‘Klithikan’. Berbagai kota lain juga membangun sentra-sentra barang bekas ini dengan tujuan serupa.
Kita kembali ke bahasan mengenai trend thrifting barang bermerek dari luar negeri. Terlepas dari berbagai persoalan yang timbul dan berbagai aspek negatifnya (misalnya: impor ilegal, faktor kesehatan, dan isu lingkungan), fenomena thrifting ini sebenarnya mengungkapkan beberapa aspek positif yang perlu menjadi perhatian dan bisa menjadi pelajaran penting bagi kita semua.
Pertama, kesadaran mengenai globalisasi. Arus globalisasi telah memungkinkan segala sesuatu yang berasal dari sebuah daerah di bagian lain di dunia dapat ditemukan di tempat lain tanpa diduga. Pakaian bekas menjadi salah satu barang favorit yang banyak dicari dan bisa dijual kembali.
Kemudahan akses internet untuk mengecek langsung keaslian produk ke produsennya telah menaikkan derajad barang bekas sebagai ‘produk’ globalisasi.
Selain itu, barang bekas impor secara tidak langsung mendorong kesadaran mengenai globalisasi dengan mengenal kota-kota dunia. Banyak kaos, misalnya, bertuliskan kota-kota seperti London, Berlin, New York, dan seterusnya.
Kedua, kesadaran tentang merek-merek global. Sebagai ‘produk’ globalisasi, pakaian bekas bermerek tertentu memiliki nilai jual tertentu juga. Apalagi ketika barang itu merupakan produk eksklusif pada jamannya, misalnya hanya diproduksi dalam jumlah tertentu atau hanya diproduksi pada event tertentu.