Senin pagi terasa berat setelah 'libur' selama weekend kemarin. Libur karena tidak melakukan kegiatan rutin pekerjaan. Rasanya masih malas menggerakkan pikiran, apalagi badan. Hari Senin seperti itu istilahnya adalah blue Monday. Masih malas beraktifitas setelah libur. Padahal setiap hari, apa pun nama hari dan suasananya, saya harus menulis untuk Kompasiana dan, tentu saja, bersiap mengajar di siang nanti.
Menulis memang tidak bisa dipaksa(kan). Menulis itu mood-mood-an, tidak peduli orang itu merupakan penulis pemula atau berpengalaman. Tidak bisa menulis bisa saja disebabkan oleh sibuk pekerjaan. Susah menulis juga bisa karena tidak punya waktu luang. Bahkan menulis bisa batal gara-gara malas.
Lalu, bagaimana caranya bisa tetap menulis meski malas menggelayut rasa?
Ada banyak cara menulis ketika diserang rasa malas. Pertama, jika interaksi anda dengan hp sangat intens. Jika sehari anda memegang hp hingga 1 jam (biasanya ini minimal), pakailah hp anda untuk menulis. Tulislah sebanyak mungkin kata yang bisa menulis. Tidak perlu berbentuk kalimat yang terstruktur, rapi tanpa typo, dan bersih bahasanya. Satu hingga dua kalimat saja sudah sangat bagus apalagi lebih dari itu. Rasakan kebebasan menulis sesedikit atau sebanyak kata anda bisa. Ingat, semua tulisan berawal dari kata dan kalimat.
Kedua, jika anda seorang yang harus menulis memakai pensil atau balpoin di kertas, maka kedua alat tulis itu perlu tersedia di dekat anda. Kedua alat tulis itu bahkan perlu ada di mana pun anda berada. Dengan cara seperti nomer satu di atas, tulisan yang anda buat adalah buah dari situasi malas. Seandainya anda dapat mewujudkannya, lalu nikmat apa lagi yang anda dustakan?
Ketiga, bentuk tulisan bisa beragam. Dalam situasi malas, apakah masih bisa berpikir soal bentuk tulisan? Tentu saja tidak! Menulis saja malas, apalagi terpikir tentang bentuk tulisan. Jadi feel free saja soal bentuk tulisan. Apa pun bentuk dari untaian kata dalam tulisan itu merupakan bentuk juga. Bentuk yang memang tidak perlu mengacu pada pakem tulisan, seperti fiksi dan non-fiksi, puisi, esai, opini, dan sebagainya.
Jika perlu, kumpulan kata itu pun bisa dalam bentuk daftar, seperti daftar makanan, bahan masakan, prosedur membuat sesuatu. Tidak harus seperti narasi deskriptif. Yang penting di sini adalah anda bisa menulis sesuatu, walau rasanya malas.
Keempat, dengan cara-cara itu, tujuan menulis dalam kondisi malas adalah memanipulasi rasa malas itu. Apa pun rasa yang ada di dalam perasaan kita dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menulis. Jadi menulis bisa dilakukan dalam suasana apa pun, termasuk bahkan ketika sedang marah-marah.
Menulis kiat, siasat, atau cara seperti ini memang terasa mudah saja. Ada banyak informasi di internet yang bisa dipakai untuk menguraikan sebab-sebab, bentuk, dan cara mengatasinya. Meski demikian, tulisan yang bersifat memberi motivasi seperti ini tetap penting. Bahkan tulisan semacam ini perlu diperbanyak ragamnya untuk memanipulasi rasa malas, sedih, dan semacamnya menjadi motivasi untuk menulis.
Harapannya, orang yang dilanda rasa malas menulis itu setidaknya menemukan dan membaca tulisan ini. Lalu, kat ini bisa dicoba dipraktekkan atau ada cara lain yang lebih mudah digunakan. Bisa saja cara ini dicampur dengan cara-cara lain yang lebih canggih dengan merujuk pada ahli-ahli menulis yang mumpuni. Mungkin saja setelah membaca tulisan ini, orang itu mengingat kembali metode menulis jika sedang malas. Semua kemungkinan bisa terjadi dan situasi itu wajar saja.
Tidak dapat disangkal bahwa praktek nyata menulis dalam suasana malas, sedih, dan marah-marah pasti sulit dilakukan. Rasanya sudah malas, tapi harus menggerakkan jemari (hanya jempol tangan dan kiri saja) untuk menulis.