Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat

6 Maret 2015   22:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Halo? Halo? Apa benda ini menyala?”

Suara melengking mendadak pecah, tanpa ampun menganiaya telinga semua orang di dalam ruangan besar itu. Pandangan menuduh serentak terarah pada seorang pria dengan stelan rapi. Tidak ada mahluk lain yang bisa disalahkan karena sedari tadi hanya pria itu yang memegang mikrofon dan terlalu banyak mengotak-atiknya.

“Selamat malam dan selamat datang kepada keluarga, rekan, dan seluruh tamu baik yang diundang maupun tidak.”

Pria itu menyapa begitu saja seolah insiden suara melengking dari mikrofonnya barusan hanyalah gurauan ringan yang tak perlu diributkan. Beruntung semua orang juga tidak begitu peduli jika pendengaran mereka sempat tercemar. Malah, mereka tertawa kecil kala pria itu mengucapkan sapa.

“Perkenalkan, nama saya Remi. Bolehkah saya mengawali ocehan saya malam ini dengan bercerita soal wanita cantik di samping saya ini? Apakah hadirin semua mau mendengar kisah perjalanan cintanya? Asal tahu saja, kami ini seolah ditakdirkan untuk terus bersama. Mulai dari masa SMP, SMA, sampai kuliah. Itu artinya, saya hapal betul riwayat cintanya. Saya bisa saja menyebutkan bocah laki-laki beruntung mana saja yang pernah jadi pacarnya. Tapi, saya rasa itu tidaklah terlalu penting. Itu semua sekadar kisah masa lalu yang cukup jadi penghias hidup saja. Karena, kisah yang paling penting adalah apa yang terjadi hari ini, dimana saat ini saya berdiri, menyaksikan wanita di samping saya ini tampil anggun dan mempesona dengan pakaian pengantinnya.”

Remi menelan ludah dan menarik nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

“Ba-Baiklah, meski tadi saya bilang kalau masa lalu itu tidak penting-penting amat, tapi di sini saya akan tetap bercerita tentang perjalanan cinta sang pengantin wanita, Nona Karin. Kita mulai ceritanya saat Karin duduk di bangku kelas 2 SMP. Di jaman boyband dan girlband Indonesia belum menjamur itu, untuk pertama kali Karin muda sudah menemukan cinta. Yaa, meskipun levelnya masih cinta monyet.”

***

Karena berusaha berjalan cepat dengan langkah-langkah pendek, gerak gadis muda itu persis seperti robot-robotan yang kebelet pipis. Dia melangkah ke dalam kelas dan segera menuju satu sudut di dalam ruangan itu. Tubuhnya mendarat di sebuah kursi kosong, tepat di samping seorang anak laki-laki. Anak laki-laki itu jelas terkejut dengan kemunculan tiba-tiba gadis itu. Dia terperanjat seakan ada mahluk halus yang datang berkunjung.

“Ah, Karin! Bikin kaget aja, lu!”

Karin tidak membalas sepatah katapun apalagi meminta maaf. Baginya, mengusili anak laki-laki itu adalah makanan pokoknya setelah nasi. Lantas, dia pun memamerkan senyum sambil terus memandang Remi. Anak laki-laki itu pun mendesah.

Sebetulnya Remi agak malas meladeni gadis muda yang tak berhenti memberinya senyum itu. Remi sudah hapal jika Karin kembali dari suatu tempat dan kemudian memberinya senyum tanpa jeda, itu berarti Karin dapat kabar bahagia namun enggan begitu saja membaginya. Senyum tanpa iringan kata-kata itu adalah sebuah kode rahasia yang jika diterjemahkan, maka kalimatnya akan terdengar “Hey, Remi, hari ini ada kejadian penting, lho. Gue mau kasih tahu lu tapi lu duluan dong yang tanya gue!”.

“Oke, oke, Karin. Ada kabar bagus apa?”

Senyum Karin tambah lebar.

***

“Nah, begitulah para hadirin. Karin dapat cinta pertamanya saat kelas 2 SMP. Dia ditembak oleh anak cowok dari kelas sebelah. Yaa, karena Karin kasih beritanya mendadak, jadi waktu itu saya cuma bisa merespon dengan menjabat tangannya sambil bilang, ‘Selamat!’. Formal sekali, bukan?”

Lagi, Remi berhasil memancing tawa orang-orang di dalam ruangan besar itu.

“Kita lanjut ke jaman SMA. Saat itu adalah momen dimana Karin menemukan cintanya yang kedua. Singkat cerita, Karin menaruh rasa suka sama teman sekelas saya. Dia pun minta saya untuk membantunya. Ya sudah, saya melakukan apa yang diminta. Karin dapat pacar lagi dan sebagai bentuk apresiasi, saya pun lagi-lagi menjabat tangannya sambil bilang, ‘Selamat!’”

Menit demi menit berlalu di malam itu. Luasnya ruangan maupun terang kilauan lampu tidak cukup mampu menyaingi bersinarnya Remi dengan rentetan kisah tentang Karin. Hiasan bunga, sajian makanan lezat, hingga dekorasi yang sudah diatur seindah mungkin pun tidak lebih menarik dari ocehannya. Dan berkat kehadiran sang pengantin wanita di sisi pria yang sedang mendongeng itu, semua mata pun dibuat semakin sulit untuk berpaling.

“Akhirnya kita sampai pada puncak cerita.” Remi berkisah dengan nada yang sengaja dia lirihkan, bahkan hampir terdengar seperti berbisik. Orang-orang kagum melihat bagaimana Remi lihai memainkan nada suaranya selama bercerita. Mereka tahu, lirih dalam perjalanan menuju titik klimaks adalah akal-akalan penutur cerita untuk melonjakkan rasa penasaran dari pendengar sehingga perhatian mereka semakin erat dicengkeram oleh sang pendongeng. Dan saat pendengar menajamkan telinga, penutur kisah akan mengejutkan jantung mereka dengan klimaks yang meledak-ledak. Sayangnya, alunan lemah suara Remi saat ini bukanlah titik awal dari skema untuk mengagetkan para pendengarnya. Laki-laki itu bahkan sejak awal tidak punya niat untuk mengerjai irama jantung orang-orang yang mendengar ceritanya. Volume rendah yang mengalir dari mulut laki-laki itu adalah gema sunyi kejujuran, jeritan tanpa suara yang murni berasal dari perasaan terdalamnya. Bahkan Remi mungkin akan mengabiskan sisa ceritanya dengan suara sendu bak anak yatim piatu berkisah tentang orang tuanya.

“Jadi...., kebetulan saya dan Karin masuk universitas yang sama. Jurusan kuliah kami pun sama, bedanya kami tidak satu kelas.”

Sempat ada ragu menyergap Remi. Haruskah dia melanjutkan kisahnya atau berhenti saja dan meninggalkan pendengar dengan cerita yang menggantung. Menurut benaknya, pilihan yang kedua jauh lebih menenangkan hati. Namun, melengos pergi saat kisah belum habis dijabarkan hanya akan membuatnya dicap kurang beradab. Selain itu, Karin yang berdiri di sampingnya mengirim sinyal rahasia itu lagi. Senyum lebar nan khas yang mengandung pesan khusus. Sekali pandang saja Remi bisa mendengar Karin merengek, “Ayo, dong. Lanjutin ceritanya. Ini kan bagian dimana Aku ketemu suamiku.”

***

Matahari sudah tergelincir jauh ke barat namun sepasang anak muda itu tidak beranjak dari tempat duduknya. Berlatar kebisingan kantin kampus, mereka menghabiskan waktu dengan bercerita kesana kemari. Tak ada sedikitpun tanda mereka akan beranjak meski tinggal sedotan yang tersisa di di dalam gelas minuman mereka.

Kemudian tibalah jeda, momen tanpa bicara saat keduanya kehabisan bahan obrolan. Remi mengetuk-ngetuk meja, berpikir. Benak dan hatinya kompak bergemuruh.

“Rin,” Remi menghapus jeda itu. “Misalkan nih ada seorang cowok dan cewek. Mereka selalu bareng dari jaman sekolah. Kuliah pun mereka satu universitas. Nah, menurut kamu..., emm,”

“Iya?”

“Apa menurut kamu mereka terus-terusan bareng karena faktor kebetulan aja atau ada maksud tersembunyi dari Tuhan sehingga mereka bareng-bareng terus?”

Kening Karin berkerut. Beberapa saat dia tancapkan pandangan pada mata Remi, menduga-duga kenapa laki-laki itu bertanya hal demikian. Tapi kemudian Karin memindahkan tatapannya ke atas. Dia lebih tertarik untuk menemukan jawaban daripada mencari tahu kenapa Remi memberinya pertanyaan itu.

Jeda yang sempat hilang pun menyisip kembali. Karin tidak berbicara karena dia sibuk berpikir sementara Remi mengatup rapat-rapat bibirnya untuk menyembunyikan gugup yang menyerang.

“Kayaknya sih kebetulan aja, deh, Mi.”

Bahu Remi langsung merosot. Tenaganya lenyap seketika.

“Tapi, bisa jadi juga ada rencana Tuhan di baliknya. Maksudku, siapa tahu itu adalah memang pertanda dari Tuhan. Mereka sengaja dibuat bareng terus sebagai cara Tuhan kasih tahu kalau cowok dan cewek itu bakal bersatu dan hidup bersama sampai akhir.”

Remi langsung menegakkan tubuhnya. Energinya secara ajaib kembali lagi. Semula tubuhnya yang dikuasai gugup kini mulai dialiri percaya diri. Remi yakin jika ini adalah saat yang dia nanti-nanti. Ini adalah momen dimana dia tidak akan lagi memberi selamat kepada Karin seperti yang pernah dia lakukan dulu . Ini adalah titik dalam hidup dimana Remi yakin akan memberi selamat kepada dirinya sendiri.

“Emang kenapa, sih, Mi?”

“Anu, Rin. Begini..., kamu tahu kan kalau dari jaman SMP sampai sekarang kuliah kita bareng terus. Jadi..., jadi..., jadi..., makanya..., apa kamu mau..., apa kamu mau...,”

Kalimat Remi terputus. Tanpa pemberitahuan, seseorang menghampiri meja mereka.

***

“Apakah kamu bersedia menjadi pasangan hidupku, menjadi yang terakhir dalam hidupku, menjadi yang pertama kulihat saat aku terbangun dari tidurku?”

“Bang Remi, itu bukannya lirik lagu, ya?” seorang di dalam ruangan besar itu menyela.

“Saya enggak bercanda, lho.” tandas Remi bersemangat. “Meski gombal minta ampun, tapi kalimat barusan betul-betul diucapkan saat Karin ditembak. Saya enggak bohong. Untungnya Karin enggak nolak. Kalau waktu itu beneran ditolak, wah bisa malu dilihatin orang-orang sekantin.”

Remi menarik udara sebanyak-banyaknya dan kemudian membuangnya perlahan.

“Ya, siapa sangka cinta yang Karin dapat di kantin kampus itu tumbuh dan terus terjaga hingga kita semua menyaksikan puncak cinta itu di acara resepsi yang megah ini. Gila, kata-kata saya keren banget. Hahaha!”

Untuk kesekian kalinya atmosfir di ruangan besar itu terisi oleh tawa. Para pendengar puas dengan kisah yang Remi berikan. Tak perlu heran jika riuh tepuk tangan langsung menyambut laki-laki itu.

“Terakhir,” ucap Remi agak bergetar. “Saya ucapkan selamat untuk Bapak Billy karena mendapatkan istri secantik Karin. Siapa sangka kalau yang bakal jadi suami Karin ternyata temen sekelas saya pas kuliah dulu. Coba bilang sama saya kalau situ suka sama Karin, pasti..., pasti...,” Remi mencekik mikrofon kuat-kuat.  “Pasti saya bantuin biar kalian cepet jadian. Hehehe.” Remi terkekeh, berusaha menyamarkan rupa asli dari perasaannya sekarang. Pria itu tak bisa mencegah kepalanya memproyeksikan kembali bagaimana Billy datang merusak harapannya. Remi tak akan lupa bagaimana pernyataan cintanya di kantin waktu itu tak terucap sampai selesai karena Billy tiba-tiba menghampiri meja mereka. Yang lebih mengagetkan, Billy datang dengan misi yang sama: menyatakan cinta pada Karin. Remi tak kuasa mencegah. Dan saat Remi mengira hari itu dia tidak akan bisa lebih sial lagi, Karin menerima Billy.

Remi menelan ludah, seolah dengan membasahi tenggorokannya dia bisa lebih mudah mengucapkan kalimat-kalimat berikutnya. Sementara itu butir-butir keringat menjalari punggung pria itu sebelum hilang terserap pakaiannya. Kedua tungkai Remi mendadak lemas, seolah tak ada tulang dan otot yang menopang. Menceritakan masa lalu memang bisa membuat orang kehilangan kendali tubuh apalagi jika yang dikisahkan adalah riwayat yang menyayat hati dan bisa merangsang kelenjar air mata menumpahkan isinya.

“Dan bu-buat Karin,” Remi menurunkan mikrofonnya, mengatur ulang nafas, berpura-pura batuk. “Se-Selamat karena sudah menemukan pendamping hidup. Jaga baik-baik Bang Billy. Jangan, jangan sia-siakan cintanya. Berikan yang terbaik, jangan buat suamimu kecewa. Tahu, kan, kalau penyesalan itu biasanya datang belakangan.”

Remi membisu. Tak ada lagi yang bisa diucapkan karena kesempatannya sudah habis. Hanya satu kalimat yang Remi pikir masih layak dia sampaikan.

“Sekali lagi, untuk Billy dan Karin, saya ucapkan....., selamat.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun