Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Generasi Menunduk

18 Juni 2014   19:40 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:14 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kau sudah siap, James?”

“Ya, Profesor. Aku sudah siap.”

Pria tua berrambut putih itu lantas menarik sebuah tuas dan seketika kebisingan menyergap ruang bawah tanah itu. James, si pria muda yang sedang terkurung di sebuah kapsul aneh hanya bisa memejamkan mata. Semua suara bising yang tiba-tiba datang menyerbu itu rupanya telah menerbitkan segelintir rasa takut di dalam dirinya. Dia sudah tidak  berbuat apa-apa lagi. Terkurung di dalam sebuah kapsul aneh buatan sang profesor, James hanya bisa berharap mesin temuan pria tua bisa berfungsi dan baik. James tidak ingin mati sekarang. Masih banyak hal yang ingin dilakukannya dalam hidup.

“Kau baik-baik saja di sana, James?!” seru profesor seraya memasang kacamata hitam bertalikan karet.

“Semoga saja begitu! Kuharap aku bisa kembali lagi ke sini! Aku belum menikah!”

Profesor hanya menyeringai geli.

Bagian luar kapsul itu mulai bercahaya. Perlahan namun pasti, sinarnya terus menyeruak dan menyilaukan mata. Semakin terang cahaya yang dikeluarkan semakin ribut pula kebisingan yang tercipta di dalam ruangan bawah tanah itu.

Kaca mata hitam bertali karet melindungi sepasang mata profesor dari pancaran silau yang berlebihan. Di antara kilau cahaya yang berlebihan serta bunyi gaduh dari mesin ciptaannya, pria tua itu menerbitkan senyum kecil. Dia merasa bangga benda hasil kerjanya menunjukkan hasil yang seperti yang diinginkan.

“Selamat berjalan-jalan ke masa depan, James!” katanya sambil melambaikan tangan. “Akan kunantikan kepulanganmu!”

Sejurus kemudian semua kehebohan di dalam ruangan itu lenyap seketika. Cipratan cahaya yang menggila sudah tidak nampak lagi. Dengus bising mesin pun sudah berhenti mengusik telinga. Yang tersisa dari tempat itu hanyalah sunyi serta seorang pria tua yang mematung memandangi mesin ciptaannya.

Si profesor berrambut putih itu berjalan pelan mendekati benda mirip kapsul raksasa itu. Dia sentuh perlahan, mengusap setiap jengkal permukaannya dengan halus bagai ibu yang sedang memberi kasih bagi buah hatinya. Pergerakkan jarinya pun merambah pada pegangan pintu kapsul tersebut. Bersandingkan denyut jantung yang mulai naik iramanya, profesor tua itu perlahan memutar pegangan pintunya. Mulut yang menganga yang bisa pria tua itu tampilkan begitu matanya melahap pemandangan di dalam kapsul tersebut. Dia geser kacamata hitamnya ke atas untuk menyingkirkan nuansa gelap dari area pandangannya. Raut di wajahnya mendadak berubah. Kerutan-kerutan penanda usia uzurnya bersanding rapi dengan lengkungan bibir yang seketika terbit. Rona bahagia bercampur bangga jelas terpancar dari wajah sang profesor.

“Aku berhasil! Aku berhasil! Mesin waktuku berfungsi!”

***

Profesor tua itu tidak bisa menjinakkan tubuhnya. Sedari tadi dia terus mondar-mandir sambil bergumam. Kursi pun hanya sanggup ia duduki kurang dari lima detik. Selebihnya, dia berjalan-jalan di dalam ruang bawah tanah yang sudah dia sulap menjadi laboratorium rahasianya itu.

Rasa cemas yang profesor tua itu terus pikul terganggu sejenak oleh dengung yang tiba-tiba mampir di dalam ruangan bawah tanah itu. Suaranya bertambah bising dan membuat ayunan kaki sang profesor tua terpaksa berhenti. Si profesor tahu apa yang sedang terjadi dan dia pun segera mengalihkan pandangannya pada kapsul besar yang berdiri kaku di tengan ruangan bawah tanah itu.

“Akhirnya,” gumam sang profesor.

Dia kenakan lagi kacamata hitam bertali karertnya dan segera luapan cahaya datang dari kapsul dan membanjiri seluruh ruangan dengan sinar yang menyilaukan. Ruangan bawah itu jadi gaduh dan juga sangat terang layaknya ada sebuah pesta gila-gilaan yang sedang terjadi di sana. Beberapa detik setelahnya sunyi kembali memerangkap.

Sang profesor buru-buru mendekati kapsul buatannya dan penuh cemas membuka pintunya. Di dalam hatinya dia sungguh berharap ada sesosok manusia utuh di dalam kapsul tersebut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika anak muda yang beberapa saat yang lalu masuk ke dalam kapsul itu tidak kembali menanmpakkan wujudnya. Jika itu terjadi, sang profesor harus sudah menyiapkan rangkaian kalimat penyesalan untuk diberikan kepada orang tua anak muda tersebut.

“James! Kau sudah kembali!”

Profesor menyergap tubuh si anak muda. Jelas sekali kebahagaiaan terpancar dari gurat usia senja pria itu. Dia bahagia James bisa kembali dengan selamat dan juga utuh. Dia lebih bahagia lagi karena dengan kembalinya James, berarti mesin waktunya bekerja dengan sempurna.

***

“Baiklah, Profesor. Sekarang aku akan menceritakan apa yang kulihat selama perjalananku di masa depan.”

James, si anak muda yang jadi kelinci percobaan perjalanan waktu berdiri dari tempat duduknya. Rambutnya yang pendek pirang dan agak ikal nampak bersanding sempurna dengan wajah yang berhiaskan sepasang mata biru dan juga hidung yang mancung. Mulutnya yang agak tipis mulai bergerak pertanda sebuah kisah akan segera dia tuturkan.

“Seperti yang kita sudah duga, Prof, masa depan memang terlihat menakjubkan.”

Profesor hanya mengangguk menanggapi.

“Aku sungguh tidak menyangka 70 tahun dari masa ini teknologi umat manusia sudah akan meningkat pesat.”

Seperti anak yang menceritakan kegiatan sekolah kepada orang tuanya, James dengan semangat  menjabarkan apa yang dia lihat di tahun 2014. James dengan bangga menceritakan soal hebatnya transportasi manusia yang sudah bisa menguasai jalur darat, air, serta udara. Anak muda itu juga tidak lupa menceritakan soal banguna-bangunan tinggi yang menjamur dan seolah bersaing untuk menggapai langit. James juga mengabarkan soal keajaiban komunikasi di masa depan yang dia singgahi.

“Apa kau percaya ini, Profesor? Di masa depan manusia sudah bisa berbicara tatap muka dengan dengan seseorang yang berada di belahan lain bumi.”

Tiba-tiba saja warna antusias yang tergambar di wajah James mendadak sirna dan berganti raut datar nan serius. Alisnya agak mengekerut dan kelopak matanya berkedip berkali-kali. James seakan tidak yakin apa dia harus melanjutkan narasinya atau tidak.

“Kenapa kau, James?” tanya Profesor. “Kenapa kau tiba-tiba kelihatan agak gelisah seperti itu?”

“Tidak, aku hanya ragu.”

“Ragu? Ragu kenapa?”

“Emmm...., “ James mengigit bibirnya. “Begini.., saat kau mengirimku ke tahun 2014, aku memang terpesona dengan kemajuan peradaban manusia di bumi ini, tetapi...”

Kalimatnya terhenti. Jeda seolah mengisyratkan bahwa untaian kata berikutnya akan terdengar seperti sebuah kabar buruk.

“Cepat katakanlah, James!” profesor mulai tidak sabar.

“I-Iya, iya. Baik, prof!” James agak tersentak. “Jadi begini, ternyata di masa depan pun manusia masih menyimpan sifat-sifat buruknya.”

“Sifat buruk?” otak profesor langsung terangsang begitu mendengar kalimat terakhir dari James. Pria tua itu mulai membayangkan penjabaran yang rinci atas maksud sifat buruk yang James katakan. “Apa di masa depan masih ada manusia yang saling berperang?”

“Iya, di beberapa tempat perang memang masih ada.”

“Apa di masa depan manusia juga masih merusak alam?”

James mengangguk.

“Tetapi, Prof,” ucap cepat anak muda itu, “aku tahu dua hal barusan memang bukan hal baik. Tapi, aku punya satu hal lagi yang membuatku merasa terganggu dengan pemandangan masa depan.”

“Apa itu?”

“Sebenarnya ini adalah sebuah fenomena, tapi aku tidak tahu istilah seperti apa yang tepat untuk menyebut fenomena tersebut.”

“Bisa kau jelaskan tentang apa fenomena tersebut?”

“Begini, prof,” James berhenti sesaat untuk mengambil nafas. “Di masa depan nanti, manusia-manusia tidak lagi berjalan dengan kepala tegak.”

Pengakuan dari anak muda itu langsung disambut dengan raut penuh heran sang profesor.

“Tidak dengan kepala tegak? Maksudmu?”

“Iya, sejauh pengamatanku di sana, banyak sekali manusia yang berjalan, duduk, makan, berkumpul, dan melakukan aktifitas lainnya dengan kepala menunduk.”

“Ba-bagaimana itu bisa terjadi? Apa itu sebuah wabah penyakit baru? Atau di masa depan telah terjadi perubahan peta genetik hingga mereka jadi seperti itu?”

“Tidak, prof. Ini bukan gejala penyakit atau pun mutasi genetik.”

“Lalu?”

“Sejujurnya fenomena menunduk itu disebabkan oleh teknologi.”

Otak si profesor terangsang lagi. Begitu telinganya menangkap bahwa teknologi sudah membuat manusia masa depan harus tertunduk, pemikiran tentang invasi dari mesin-mesin lah yang pertama kali hinggap di benaknya.

“Coba jelaskan lebih rinci, James. Aku sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa depan.”

“Begini, seperti yang sudah kubilang bahwa teknologi sudah sangat maju di masa depan. Dan salah satu bentuk teknologi mutakhir itu adalah sebuah benda komunikasi canggih yang bisa melakukan banyak hal bagi manusia. Hanya dengan menekan beberapa tombol, manusia sudah bisa menjalin komunikasi dengan seseorang yang berada sangat jauh.”

James melanjutkan kisahnya. Masih dengan raut serius, anak muda itu memaparkan bagaimana manusia masa depan sangat keranjingan dengan teknologi. Seperti sedang menceritakan sebuah kisah horor, James menuturkan perjalanan singkatnya di masa depan dengaan tanpa sedikitpun gairah atau senyum yang mengiringi.

“Kau tahu, profesor? Perangkat komunikasi yang sedang kuceritakan ini, mereka menyebutnya sebagai gadget. Rupanya gadget itu tidak hanya membantu manusia dalam urusan komunikasi, tapi juga membantu kehidupan mereka di banyak aspek.”

“Bagiamana mungkin? Kau bilang itu hanya sebuah perangkat komunikasi. Perangkat komunikasi ya perangkat komunikasi, gunanya untuk berkomunikasi.”

“Kau harus datang sendiri ke masa depan untuk membuktikan kata-kataku ini. Benda canggihbernama gadget itu rupanya punya segudang fungsi lain selain sebagia sebuah perangkat komunikasi. Dengan alat itu, manusia bisa mendengarkan musik, melihat gambar, menyaksikan gambar bergerak, bermain, dan bahkan mereka bisa mencari ilmu pengetahuan melalui alat itu.”

Profesor diam memperhatikan setiap ucapan anak muda itu. Dia sempat meyakini jika James mengalami gangguan kesadaran dan berhalusinasi sebagai efek perjalanan waktu.

“Kau mungkin menganggapku gila, Profesor. Tapi begitulah kenyataan di masa depan. Dan karena benda bernama gadget itulah manusia berubah menjadi mahluk yang terus menerus menunuduk. Ibarat oksigen yang harus manusia hirup, gadget pun menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan dari kehidupan manusia jaman itu. Jari-jari mereka terus menari-nari menghentak layar dan tombol. Mereka berbaring, duduk, berdiri, berjalan, makan, bahkan saat menggunakan kendaraan bermotor pun kepala mereka semua terus menunduk memperhatikan layar gadget. Aku tidak tahu apakah benda itu sudah disisipi oleh ilmu sihir atau hipnotis, tapi sejauh pengamatanku perhatian manusia masa depan hampir seluruhnya terhisap oleh gadget. Mereka terus seperti itu seakan gadget adalah teman hidup mereka. Mereka terus menunduk seolah tidak ada manusia lain yang bisa diajak bercengkerama. Mereka semua terpaku dengan dunia abstrak yang mereka ciptakan sendiri. Dan aku pun menduga jika kepedulian sosial manusia di masa depan juga ikut terhisap bersama kehadiran sang gadget.”

James mengambil jeda diantara kisahnya. Dari apa yang ditunjukkan wajahnya, James seakan seperti sudah melalui perjalanan yang mengerikan.

“Profesor,” ucaap James agak lemas, “untung sekarang kau sudah tua jadi sangat kecil kemungkinan kau akan tetap hidup sampai tujuh puluh tahun lagi dan menyaksikan sendiri pemandangan masa depan yang dipenuhi manusia-manusia menunduk itu. Kalau aku boleh memohon pada Tuhan, aku ingin keturunanku nanti tidak menjadi salah satu dari mereka. Aku tidak ingin anak cucuku menjadi manusia yang lebih terlihat seperti mayat hidup.”

Profesor tidak menanggapi. Dia berusaha tenang meskipun sebetulnya dia juga merasakan ketakutan yang sama.

“Atau jika kau masih penasaran, Prof,” lanjut James, “kau bisa menggunakan mesin waktu ciptaanmu ini dan membuktikannya sendiri dengan matamu.”

“Tidak perlu repot-repot, James.”

Profesor tua itu membalikkan badan dan perlahan berjalan menjauhi James. Di sebuah rak kayu tubuhnya berhenti. Teko kaca bening diangkatnya dan meluncurlah air ke dalam gelas putih kecil yang berdiam di atas rak kayu tersebut.

“Jika masa depan memang menakutkan seperti yang kau ceritakan,” profesor mengambil gelas putih itu dan menyodorkannya pada James. “Semoga keturunan kita tidak ikut-ikutan menundukkan kepalanya. Ini, silakan diminum.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun