Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Andai Bukan Drama

19 Maret 2015   15:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1426754853562053517

[caption id="attachment_373810" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi (single.de)"][/caption]

“Hai! Udah lama nunggu? Sori, ya, tadi ada urusan penting.”

Inginnya aku mendengar sedikit suaranya. Setidaknya beritahu seberapa lama dia menanti di taman samping sekolah ini. Jujur aku agak takut jika suasana hatinya mendadak rusak karena aku datang terlambat, apalagi aku adalah orang yang telah memintanya datang kemari. Aku takut jika marah mulai menyelubunginya. Tahu sendiri lah, kaum hawa kan gampang tersinggung gara-gara hal sepele, apalagi kalau mereka sedang datang bulan.

“Ah, enggak apa-apa, kok,” jawabnya berbalut sedikit senyum. Lega rasanya mengetahui jika dia bukan spesies wanita yang gampang terganggu mood-nya. Dan untungnya lagi dia tidak sedang datang bulan (Lah, darimana pula aku bisa tahu?).

Langsung kusodorkan sekaleng minuman dingin. Minuman itu sengaja kubeli dengan dua alasan. Pertama, bersikap ramah kepada orang lain adalah wajib. Kedua, andaikan kepalanya mendidih karena kesal dengan keterlambatanku, setidaknya aku bisa menggunakan kaleng minuman dingin itu untuk mengompres dahinya. Tetapi, begitu kusaksiksan sendiri sikap perempuan berrambut lurus sebahu itu masih selembut dan setabah tokoh protagonis di sinetron-sinetron kejar tayang, rasa-rasanya tak perlulah aku mendinginkan dahinya. Bagus, lah.

Kuawali pertemuan sore itu dengan membuka kaleng minumanku. Suara mendesis dari tutup kaleng yang dibuka mengisi momen yang belum ada sambungan dialognya itu. Setelah beberapa teguk kuambil, tidak satupun dari kami yang berniat mengambil kata pertama. Hingga  suara desisan yang kedua muncul, cuma sayup keramaian taman yang menghiasi pendengaran.

“Jadi,” kata perempuan itu akhirnya memecah kekosongan. “Hari ini kamu mau ngomong apa sama aku?”

Untung mulutku sedang tidak menampung minum dari kaleng itu. Kalau iya, bisa-bisa aku langsung menyemburkannya seperti dukun sedang beraksi karena saking kagetnya.

“Oh, iya, aku lupa. Ahahaha!”

Sial! Sebagai orang yang mengundangnya ke tempat ini, mestinya aku yang memimpin percakapan dan segera menyampaikan maksud dari pertemuan ini. Tapi nyatanya malah dia yang punya inisiatif begitu.

Ya, mau bagaimana? Tidak kusangka jadinya bakal seperti ini. Kukira aku akan dengan mudah menggelontorkan kata demi kata di hadapannya. Kupikir mengungkapkan perasaan pada orang yang kusuka bakal semudah membalikan halaman buku.

“Cuacanya bagus, yah?” kataku dengan kepala mendongak.

“Iya, aku tahu. Jadi sebenarnya kamu mau bilang apa sampai nyuruh aku ke sini?”

Duh, kenapa sih mesti terburu-buru begitu?! Tidak lihat apa aku sedang dilanda gugup? Aku tidak bisa sekonyong-konyong menjabarkan isi hati. Aku perlu momentum, aku perlu menyerap keberanian ke dalam dada. Dan itu butuh waktu. Makanya tadi aku cuap-cuap dulu soal cuaca hari ini. Sayang kamu mengabaikannya dan malah menuntutku untuk segera membuka inti pertemuan ini.

“Emm, anu, aku memang mau bicara sesuatu sama kamu sekarang,”

Ya sudahlah, langsung hajar saja, deh.

“Kamu tahu kan, dari jaman kelas 3 SMP sampai sekarang kelas 2 SMA kita selalu bareng satu kelas.”

Dia berpikir, mencoba menganalisa kalimatku barusan. “Eh, bener juga, tuh. Kebetulan banget kita bisa tiga kali sekelas. Kok bisa, ya?”

Aku melanjutkan kata-kataku dengan pertanyaan menantang. Kupancing logika perempuan di sampingku itu dengan melayangkan asumsi seandainya menjadi teman sekelas tiga kali berturut-turut bukanlah sebuah kebetulan. Kutanya padanya jika itu adalah sebuah tanda.

“Tanda? Maksudnya?”

“Iya. Tanda” tegasku. “Bagaimana kalau itu memang sebuah sinyal kalau kita bakal terus bersama di hari-hari berikutnya?”

“Jadi, maksud kamu...,”

Aku mengangguk sembari memamerkan senyum. Tanpa membual lebih banyak basa-basi, kuraih tangannya. Dia kelihatan terkejut. Aku juga sama.

“A-Aku, aku, aku su-su-su-suka sama kamu,”

Pompaan jantungku meningkat berkali-kali lipat. Bisa kurasakan aliran darah di pembuluh mendadak melesat seperti roket. Tanganku seperti membatu. Begitu pula pandanganku yang terus menempel kuat di wajahnya. Sepertinya beberapa detik lagi tubuhku akan kebanjiran keringat. Rupanya menyatakan cinta lebih membuat gugup daripada menyaksikan adu penalti.

“Ja-jadi...., apa jawaban kamu?”

Ah, aku lupa. Ternyata menyampaikan perasaan bukan bagian yang paling menegangkan. Meski butuh keberanian yang aduhai luar biasanya, ternyata menggerakan mulut untuk menyatakan cinta bukanlah bagian klimaksnya. Puncak drama ini justru ada di bagian “menunggu jawaban”.

“Jawabanku...” dia menyisipkan jeda. Entah sengaja atau tidak, aku tidak peduli. Yang kupedulikan hanya kelanjutan dari kalimat itu dan juga seberapa lama lagi aku bisa menahan rasa gugup yang menyergap tubuhku ini. Bisa-bisa aku pingsan.

“Jawabanku.., “ katanya lagi. Tapi kemudian ia menutup rapat mulutnya. Aku tidak suka ini. Memutus kalimat dengan tiba-tiba seperti itu bisa kuterjemahkan menjadi dua hal: Pertama, dia ingin menolak tetapi malu dan kedua dia ingin menolak tapi takut melukai perasaanku. Intinya sih sama saja: ingin menolak.

Aku sudah menduga jika peruntunganku hari ini sedang tidak bagus. Harusnya aku baca dulu rubrik zodiak di majalah remaja sebelum mengadakan pertemuan ini. Aku sudah mengira jika perasaan ini tidak akan terbalas. Mestinya aku berkonsultasi dulu dengan ahli feng-shui untuk mencari tahu hari baik menyatakan cinta. Namun saat semua pikiran-pikiran buruk itu berdatangan, mataku menangkap gerakan yang tidak terduga. Dia menganggukkan kepalanya.

“Hah, beneran, nih?” balasku langsung menyimpulkan. Untunglah dia menggangguk lagi. Baru setelah itu dia secara resmi merestui perasaanku dengan ucapan persetujuan langsung dari mulutnya.

Dia tersenyum. Aku tersenyum lebih lebar.

Aku berharap sore ini tidak akan cepat berakhir. Aku ingin matahari menemani kami lebih lama. Aku ingin menyita lebih banyak menit di tempat ini bersamanya. Tetapi....

“OKEH! Cut!!!”

Kutarik kembali tanganku. Mata yang tadi memaku di wajah perempuan berrambut sebahu itu kini harus kupindahkan pada seorang lelaki yang tadi berteriak.

“Oke, bro,” kata lelaki itu saat menghampiri kami. “Aktingnya keren abis! Kalau begini gue yakin drama kelas kita di acara ulang tahun sekolah besok pasti bakal sukses berat!”

Beberapa orang lain ikut mendekati kami. Tangan-tangan mereka menepuk pundak kami perlambang rasa bangga.

“Aktingnya keren!”

“Wah, lu bisa jadi bintang film beneran, nih.”

Nice job, dude. Aktingnya bagus banget seolah-olah adegan menyatakan cinta barusan kayak asli.”

Mereka memuji. Aku sih senang-senang saja. Tapi aku bakal lebih senang jika ini bukan bagian dari sandiwara yang harus kupentaskan besok. Aku ingin lakon yang baru kumainkan bisa kupentaskan juga di dunia nyata... dan dengan lawan main yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun