[caption caption="Gambar diambil dari www.aliexpress.com"][/caption]
Kabut tipis menuruni kaki bukit menyertai kepulangan Ayah dari perantauannya. Kokok ayam masih belum usai. Sisa hujan semalam membuat udara pagi ini dingin menusuk. Ia menggendong sebuah tas ransel lusuh. Langkahnya tegap di tangan kirinya membawa sepasang sepatu baru berwarna putih bersih. Kontras dengan baju kemeja yang dipakainya. Kami baru saja selesai menimba air, mengisi tong-tong besar untuk kebutuhan sehari-hari.
Aku -Mada- dan ketiga saudaraku, Gani, Rumpun dan Lara berdiri di depan rumah menyambut kedatangan Ayah. Hampir dua tahun ia pergi. Dan sebelum musim panen padi inilah dirinya pulang. Mata kami tertuju pada satu hal yang sama. Sepatu.
"Mak, Ayah pulang…" teriak kami serempak memberitahu Mamak.
Prang.
Terdengar bunyi barang pecah belah menghantam lantai. Kami tersontak kaget lantas berlarian ke sumber suara dan hampir melompat jantung kami melihat pemandangan yang tersaji. Lantai dapur kami bertabur beling. Pecahan-pecahan itu masih segar namun sudah siap melukai telapak kaki yang tidak hati-hati. Potongan-potongan kaca itu pun menyadarkanku kalau piring dan gelas tidak disebut barang pecah belah tanpa alasan. Mereka akan tetap hancur meski menghantam lantai dapur kami yang masih berwujud tanah sekalipun.
“Ada apa kok tiba-tiba kalian lari?” tanya Ayah sebagai orang yang terakhir tiba di TKP.
“Ini, Yah,” telunjukku mengarahkan pandangan Ayah ke lantai dapur yang penuh pecahan kaca.
“Pasti kerjaanya si Budug lagi, nih.” gerutu Gani menumpahkan salah pada kucing jalanan penuh borok yang sering menginvasi ruang dapur kami tanpa permisi.
“Iya, pasti si Budug!” si bungsu Lara pun mendukung tudingan kakaknya.