Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Sehari Mencoba

14 April 2015   16:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:06 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ya, sudah, Arina, enggak usah dipaksakan. Kembali ke tempat duduk kamu.”

Kalau saja guru tidak berkata demikian, anak perempuan itu pasti akan lebih lama mematung menghadap papan tulis. Tangan kanannya kini sudah boleh beristirahat setelah hampir semenit tadi menggenggam spidol namun tidak ada hal lain yang bisa dituliskan. Di kursinya sekarang dia bersandar pasrah. Nafasnya ia atur sedemikian rupa, berharap itu bisa mengurangi rasa malu yang menyergap cepat. Mestinya di menit-menit berikutnya dia memperhatikan bagaimana salah satu teman sekelasnya berhasil memecahkan soal yang gagal dia selesaikan. Tapi anak perempuan itu lebih memilih untuk memikirkan anggapan teman-teman terhadap dirinya. Dia sibuk membayangkan kesan miring yang mengunjamnya karena tidak mampu menyelesaiakan soal matematika itu. Anak perempuan itu terus menghakimi pikirannya dengan sugesti negatif. Jika bel istirahat tidak berbunyi beberapa saat kemudian, mungkin dia tidak akan berhenti menyiksa dirinya dengan rasa malu dan pikiran-pikiran yang menggerus rasa percaya dirinya.

“Arina, kamu tadi kenapa? Padahal menurutku soal tadi enggak susah-susah amat tuh?”

Senyum terpaksa dan bahu yang terangkat. Hanya itu yang dia bisa berikan sebagai jawaban atas rasa penasaran temannya. Dia sudah menduga akan ada orang yang akan menanyainya. Dia tahu bakal diinterogasi seperti maling yang tertangkap basah. Tak bisa dihindari. Dia pasrah.

“Biasanya kamu kan jago di matematika. Kayaknya kamu hari ini kelihatan lain, deh. Apa jangan-jangan karena saudaramu si Arini lagi sakit terus tadi kamu jadi enggak fokus?”

Anak perempuan itu refleks melongok kursi kosong di belakangnya. Beberapa saat dia pandangi kursi kayu tanpa penghuni itu. Hatinya bergemuruh. Sejenak dia lega mengetahui jika manusia biasa tidak bisa mendengar isi kepala orang lain. Kalau bisa, teman-temannya pasti bisa mendengar bagaimana anak perempuan itu berteriak kencang minta bertemu dengan saudaranya.

“Ya, namanya juga anak kembar.” sambung temannya yang lain. “Kata orang sih kalau ada satu yang sakit, biasanya yang lain ikut ngerasa sakit juga.”

“Masa, sih? Emang gitu, ya, Arina?”

Lagi-lagi anak perempuan itu menjawab dengan senyuman dan bahu yang terangkat. Semangatnya sudah kering. Bahkan untuk menjawab pertanyaan teman-temannya dia enggan setengah mati. Dia hanya ingin hari ini selesai secepatnya. Gadis kelas 2 SMA itu ingin lekas mengakhiri hari dan bertemu dengan saudaranya. Dia tidak mau memikirkan hal lain. Dia bahkan tidak akan menyadari jika insiden soal latihan matematika yang tidak sukses dia pecahkan rupanya hanya pembuka dari rangkaian “cobaan” yang akan menimpanya hari ini. Saat pelajaran fisika, dia kembali diutus untuk mengerjakan soal latihan dari gurunya. Begitu pula di jam terakhir saat pelajaran biologi. Tiga kali maju, tiga kali menanggung malu. Nol besar untuk performanya di sekolah hari ini.

***

“Arina, mau kemana?!”

“Pulang, lah. Masa mau konser dangdut.”

“Dih, aneh, lu. Sejak kapan bisa ngelawak kaya gitu?”

“Ada apa sih manggil-manggil? Gue mau buru-buru pulang, nih.”

“Pulang? Pulang kemana?”

“Ke rumah, lah, masa ke stadion!”

“Dih, ngelawak lagi.”

“Udah, gue pulang dulu, ya.”

“Woy, Arina, jangan ngaco! Hari ini ada rapat. Jangan pulang dulu.”

“Rapat apaan, sih?”

“Pake nanya, lagi. Rapat OSIS lah, masa rapat paripurna DPR!”

“Emmm, hari ini enggak ikut rapat dulu, deh. Boleh, ya?”

“Enggak bisa, Arina. Semua anak OSIS wajib hadir. Kan udah dikasih tahu kemarin. Gimana, sih?”

“Euuh, anu, emmm, i-iya, gue tahu kalau rapat hari ini wajib, tapi...,”

“Enggak ada tapi-tapi. Cepetan ke ruangan. Entar dimarahin Ketua baru tahu rasa.”

“Tapi, itu, gue, saudara gue...,”

“Iya gue tahu adik kembar lu lagi sakit. Gue paham. Tapi kan lu nanti juga bisa pulang kalau rapatnya udah selesai.”

“Tapi...,”

“Udah, enggak usah banyak alasan. Cepet datang ke ruang rapat. Atau mau gua panggilin yang lain biar lu diseret rame-rame?”

Gadis itu menyerah. Dia berpikir tak ada gunanya lagi mencari alasan ini itu. Selihai apapun dia mengelak, dia tetap tidak mampu kabur dari tanggung jawab yang terlanjur menjerat. Bayangan akan kenyamanan rumah dan tatap muka dengan saudaranya mesti dia simpan untuk beberapa jam ke depan.

***

Sekitar tiga jam lagi matahari akan tuntas menunaikan tugasnya untuk hari ini. Bagi sebagian orang, ini adalah momen gembira. Karyawan senang karena jam kerjanya akan segera berakhir, orang yang sedang berpuasa sunah lega karena waktu berbuka makin dekat, dan mahluk astral bersemangat karena waktu bermain mereka akan segera tiba. Selain tiga golongan itu, sore hari ini juga menjadi waktu yang dinanti-nantikan oleh seorang anak gadis.

Di trotoar dia berulang kali mengusap kening. Rautnya lesu. Tak perlu ditanya seberapa besar kelelahan menderanya hari ini sampai-sampai garis wajahnya yang manis itu jadi tersamarkan. Bisa dipahami betul bila rumah dan wajah saudaranya jadi hal yang sangat dia butuhkan.

Cukup lama dia berdiri di trotoar sampai sebuah sedan silver menepi di depannya. Tanpa banyak tanya anak perempuan itu membuka pintu penumpang dan segera seseorang di dalam mobil langsung menyapanya dengan hangat.

“Hai, Arini. Bagaimana sekolahnya? Lancar? Menyenangkan?”

“Lihat saja mukaku, Kak!”

Arina tersenyum kecil. Jawaban singkat dari Arini sudah memberinya ulasan lengkap tentang kisah cerita adiknya di sekolah hari ini.

“Capek, ya?” Arina tahu ini momen yang pas untuk menggoda adiknya.

“Menurut Kakak?!”

“Yaa, jangan marah, dong. Kan kamu sendiri yang pengen jadi kayak Kakak. Gimana, enak jadi Kakak?”

Arini hanya merengut. Semangatnya tidak cukup bersisa untuk berkata-kata. Bahkan untuk menoleh pun malasnya seperti harus bangun pagi di hari minggu.

Sedan silver itu melindas jalanan dengan tenang. Arina sang kakak mengajak Arini untuk menumpahkan kisahnya di sekolah hari ini. Arina ingin tahu apa saja yang dilalui Arini, sang adik yang hari ini sudah berakting menjadi dirinya.

“Ternyata jadi orang kayak Kakak enggak enak juga, ya.”

“Ah, masa?” sahut Arina, pura-pura tidak paham.

“Coba bayangin, masa hampir setiap pelajaran Aku selalu dipanggil buat nyelesein soal latihan. Dan temen-temen pada keheranan ngelihat Aku enggak bisa nyelesein soal-soal itu. Terus, pas pulang sekolah aku harus ikut rapat OSIS. Mana lama lagi rapatnya.”

Arini terus mengoceh, mengeluhkan alur kisah hari ini yang tidak sesuai dengan dugaannya. Dulu dia mengira jika menjadi siswa populer, aktif, dan serba bisa seperti kakaknya adalah hal yang menyenangkan. Sebagai saudara yang lebih muda, dia iri. Tampilan sama tapi nasib kenapa mesti berlainan, begitu yang Arini pikir. Dia pun ingin menikmati pamor. Setidaknya satu hari saja Arini ingin semua sorot mata dan perhatian yang selalu kakaknya dapatkan di sekolah terarah padanya. Dan begitulah, ide “mengambil posisi kakak selama satu hari” pun langsung menyambar kepala Arini. Sang kakak tidak kesal apalagi marah saat adiknya yang lebih muda 1 jam itu mengemukakan ide tersebut. Kedua pihak sama-sama sepakat dan jadilah hari ini Arini berperan menjadi Arina sementara sang kakak menanti di rumah berpura-pura menjadi saudara yang sedang sakit.

“Ya, semacam itulah hari-hari Kakak,” Arina lembut menyambut begitu adiknya selesai bekeluh kesah. “Kalau kamu cuma perhatiin luarnya, kamu bakal luput dari cerita asli di dalamnya. Kelihatanya saja menyenangkan jadi murid populer, aktif, dan serba bisa. Kalau kamu enggak berakting hari ini, kamu enggak pernah tahu beban ekspektasi dan image yang mau tak mau mesti Kakak pikul. Kamu enggak akan pernah tahu rasanya menopang harapan orang lain yang selalu ingin melihat yang terbaik dari Kakak. Kamu enggak akan paham besarnya usaha untuk tidak mencederai ekspektasi mereka.”

“Apa Kakak menyesal dengan keadaan ini?”

“Menyesal? Ya enggak lah adikku sayang.” Arina mencubit pipi adiknya. “Kakak jalani semua ini tanpa perlu banyak mengeluh. Lagipula, ini semua pasti bakal kasih banyak manfaat buat Kakak nanti. Mumpung masih muda, banyak-banyakin kegiatan lah, sebisanya jadi yang terbaik. Kamu paham, adikku yang super pemalas?”

“Iya, iya, Arini ngerti! Udah dong jangan cubit pipiku lagi.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun