Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasionalisme Karbitan

20 Maret 2014   15:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:43 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Bro, ikut enggak?”

“Kemana?”

“Nobar, lah!” ucapnya semangat.

Laki-laki muda berkacamata itu tampak bergairah. Dengan nada riang dan penuh energi dia mencoba mengajak teman satu kosnya menyaksikan siaran pertandingan sepakbola. Bukan pertandingan liga apalagi kompetisi tarkam yang membuat anak muda itu sangat antusias. Pertandingan yang akan dia tonton malam ini adalah partai final AFC Cup U-19. Ajang tersebut adalah kompetisi sepakbola yang mempertemukan tim-tim nasional di bawah usia 19 tahun dari seluruh negara Asia Tenggara.

Bukan embel-embel partai final yang membuat pemuda berkacamata itu sangat bertenaga malam ini. Dan bukan juga hebatnya talenta-talenta sepakbola remaja seantero ASEAN yang sudah membuatnya seperti anak kecil yang kegirangan menyambut datangnya lebaran. Semangat dan antusias yang ditunjukkannya itu tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh satu tim yang akan bertanding di partai final tersebut. Ya, Tim Nasional Indonesia.

Karena itulah si pria berkacamata itu sudah menghiasi raganya dengan kaus merah berlambang garuda yang bercokol di dada kiri. Dia juga melengkapi penampilannya dengan sebuah syal berwarna serupa dan mengikatkannya di kepala.

“Gue gak bisa.” jawab pemuda lain di kamar berukuran 5x7 meter itu. “Banyak kerjaan nih. Lagian gue masih bisa nonton lewat tivi.”

Ega, si pria berkacamata yang bersemangat itu agak lesu begitu mendengar jawaban dari teman sekamaranya. “Ah, payah lu.”

Ari tidak memindahkan pandangannya dari layar laptop sementara jari-jari tangannya terus menari-nari di atas keyboard. Ari memang tidak berbohong ketika dia mengatakan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga dirinya tidak bisa ikut bersama Ega menyaksikan partai final AFC Cup U-19.

Ega membiarkan kawannya itu berkutat dengan pekerjaannya. Dia lalu melangkah menuju pintu, memasang sandal hitam kesayangannya dan akan segera beranjak. “Dasar gak nasionalis lu!”

Hanya empat kata yang Ega lontarkan sebelum dia berlalu pergi, namun itu lebih dari cukup menggambarkan pemikirannya soal tingkat nasionalisme yang Ari punya.

Ari tidak bernafsu menanggapi Ega dan penghakimannya. Dia seakan menganggap label “tidak nasionalis” tersebut adalah hal yang tidak perlu dipikirkan apalagi ditanggapi dengan amarah. Ini karena Ari memang jenis orang yang tidak gampang terpancing untuk meributkan atau membesarkan hal-hal sepele, jenis manusia yang tergolong spesial dan langka di negeri ini. Lagipula malam ini bukanlah pertama kali dia mendapatkan gelar tidak nasionalis dari teman sekamarnya itu.

Saat negara tetangga mengklaim beberapa budaya Indonesia sebagai miliknya, Ega beserta banyak rakyat Indonesia bersatu melempar reaksi. Di akun twitter dan facebook-nya, Ega hampir tidak melewatkan satu hari pun tanpa menyindir atau menghina negara jiran yang telah merampas budaya bangsa. Pada kala itu, Ega juga tidak lupa menyematkan gelar tidak nasionalis pada Ari. Ega harus menghukum teman sekamarnya itu karena Ari tidak ikut bersuara melayangkan rasa jijik di media sosial. Dia telah menganggap Ari bersikap abai dan tidak acuh dengan nasib bangsa yang sudah tercuri kehormatannya.

Waktu terus berjalan hingga akhirnya kedua teman sekamar itu pun selesai menuntut pendidikan S1 dan harus berpisah menjalani urusannya masing-masing. Setelah lulus, Ega bekerja di sebuah perusahaan asuransi di ibukota sementara Ari memilih melanjutkan pendidikannya. Ari beruntung mampu memperoleh beasiswa pendidikan S2 di Jepang. Sebagai teman yang sudah hidup bertahun-tahun dalam satu atap, Ari memberitakan soal beasiswa tersebut kepada Ega. Tentu, Ega merasa senang dengan pencapaian yang Ari buat. Namun, di balik kesukaan itu, Ega tidak lupa untuk kembali menghakimi Ari perihal nasionalisme.

“Dasar gak nasioalis, lu. Ngapain kuliah jauh-jauh ke Jepang. Emangnya di Indonesia gak ada universitas bagus apa?!”

Tapi Ari bergeming. Dia sudah kebal. Ari bahkan tidak berpikir apakah ocehan temannya itu serius atau senda gurau belaka.

***

Dua tahun sudah berlalu sejak mereka berpisah. Kini kedua laki-laki itu akan dipertemukan kembali meski hanya melalui percakapan tanpa suara di dunia maya.

Ega duduk manis di beranda depan rumah di sebuah sore akhir pekan. Pahanya sudah memangku sebuah laptop hitam. Senyum laki-laki berkacamata itu tiba-tiba terkembang saat sebuah nama familiar terpampang di monitor laptop.

“Wah, si Ari kirim email.”

Ketika Ega membukanya, senyumnya masih bertahan. Lagipula siapa yang bisa mencegah seseorang tersenyum saat dirinya bisa kembali bersapa dengan kawan lama. Kata demi kata habis Ega baca. Namun ada yang aneh sore itu, semakin dia meneruskan membaca, semakin redup senyumnya.

“...Ega, entah kenapa gue pengen ngebahas soal ini. Tadinya sih gue gak mau ngebahas ini, tapi karena elu itu temen deket gue dari dulu, gue ngerasa lu perlu sedikit pencerahan dari gue.

Ini soal nasionalisme dan gak nasionalis. Inget sesuatu?”

Raut Ega berubah lebih serius saat kata nasionalisme terlihat oleh kedua matanya. Dia seakan tahu akan seperti apa kelanjutan dari email tersebut. Pikirannya kemudian segera memutar memori di masa lalu, saat mulutnya selalu menghakimi Ari dengan gelar tidak nasionalis. Ega mendadak merasa tidak nyaman. Dia berpikir Ari akan menumpahkan kekesalannya melalui email tersebut.

“Mampus gue!” Ega merasa tidak berkutik.

“...Tenang aja, gue gak akan marah-marah atau murka hanya karena elu udah nyebut gue gak nasionalis berkali-kali. Gue gak terlalu mikirin itu, kok.”

Ega bisa sedikit menurunkan rasa tegangnya.

“...Gue mau tanya, apa elu sekarang masih melabeli orang yang tidak menonton pertandingan timnas dan yang kelihatan tidak peduli saat negara tetangga berulah sebagai orang yang gak nasionalis?”

Belum lama merasakan sedikit kelegaan, rasa tidak nyaman Ega kembali terpicu.

“...Hanya karena seseorang gak nonton timnas atau gak ikut-ikutan mencaci negara tetangga, bukan berarti orang itu gak nasionalis, Ga. Dan juga kita gak bisa nge-judge orang yang belajar di luar negeri sebagai orang yang gak cinta tanah air.”

Ega menelan ludah. Dia hanya membaca sebuah surat elektronik tapi terrasa seperti digurui secara tatap muka.

...Perlu elu tahu, gue ini cinta tanah air. Banget. Gue cinta timnas. Ya, meski gue gak nonton langsung di stadion, gue pikir gue masih nasionalis. Setidaknya gue bukan suporter yang girang saat timnas menang tapi kemudian marah-marah dan mencaci saat timnas lagi jeblok. Gue bersyukur karena gue bukan suporter kampungan yang masih asyik ribut dengan suporter dari klub lain.

Gue rasa gue masih cukup nasionalis saat gak ikut-ikutan menyindir atau meledek negara tetangga yang suka mencuri budaya kita itu. Gue pikir gue masih lebih nasionalis dari mereka yang kebakaran jenggot saat kebudayaan bangsa dicuri tapi lupa berusaha ngejaga atau melestarikan budaya sendiri.

Ah, udah lah. Kalau dibahas lebih lanjut, bakal panjang tulisannya. Nanti kalau kita ketemu, kita bisa obrolin lagi soal nasionalime, hehehe J

Oh ya, sehabis kuliah S2, gue bakal pulang dan berrencana bikin usaha. Lumayan lah, bisa menciptakan lapangan kerja buat saudara-saudara sebangsa. Kalau kejadiannya begitu, kira-kira gue udah cukup nasionalis belum, ya?”

Ega menarik nafas panjang lalu meletakkan laptop di atas meja kecil di sampingnya. Ia menselonjorkan kedua kaki, menempelkan kedua tangan di perut, dan kemudian memejamkan sepasang matanya.

Di dalam kepalanya kini terproyeksi kenangan saat dia berulang kali menghukum Ari dengan sebutan orang tidak nasionalis. Ega pun memikirkan kembali isi email yang Ari kirim. Sejenak dia merasa malu karena menganggap dirinya lebih nasionalis daripada Ari. Dalam lamunan, Ega merasa telah tercerahkan oleh mantan teman sekamarnya itu.

Ega terus merenung dibalik mata terpejam hingga tanpa dia sadari kantuk sudah membawanya jauh dari kesadaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun