Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Syukurlah, Isi Kepalanya Sudah Kosong

20 Februari 2015   22:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424422395632722514

“Erik,”

Namamu. Itu yang pertama kali langsung kulafalkan di dalam ruangan ini. Percayalah, menyebut namamu itu sangat sulit seolah dua bibirku ini sedang dijahit rapat-rapat. Aku bersyukur masih bisa berucap. Kalau orang lain yang ada di posisiku saat ini, menumpahkan air mata saja sudah terhitung bagus.

“Erik,” panggilku lagi. “Ini Aku, Sarah.”

Dua mata cokelat milikmu bergeser perlahan hingga bertemu dengan mata milikku. Aku sudah mengenal lama mata itu, sepasang organ penglihatan dari manusia yang sangat mencintaiku. Bergairah dan penuh kasih sayang. Kesan itu yang selalu kutangkap setiap kali pandanganku beradu dengan mata cokelatmu itu. Kadang kupikir dua bulatan itu mengandung sihir, kekuatan di luar nalar yang tak pernah gagal mempesonakanku, halus menusuk dan membuat bibirku melengkung dalam bahagia.

“Erik, ini aku Sarah.”

Kau masih tak menjawab. Tak peduli berapa kali namaku bergaung di ruangan ini, kau tidak nampak sedikitpun peduli. Mata yang selalu menyihirku itu pun kosong, merasa asing dengan sosok di depannya. Tak ada lagi kesan penuh cinta yang selalu terpancar. Yang kusaksikan sekarang hanyalah mata cokelat yang berjubel tanya.

“Erik, kau ingat aku? Ini aku Sarah. Kekasihmu.”

Wajah datarmu akhirnya berreaksi. Kelopak matamu berkedip cepat dibarengi dengan alis yang mengkerut naik. Aku sudah senang mengetahui raut wajahmu sudah berubah, tapi bukan seperti itu perubahan yang kuharap. Tak bisakah kau melambatkan kedipanmu? Tak bisakah kau perintahkan alismu untuk tetap di tempatnya? Lebih penting lagi, tak bisakah kau suguhkan sedikit senyum daripada membiarkan bibirmu lurus seakan kau adalah mahluk yang tidak pernah menemukan kebahagiaan.

Tanganku pun menjamah jari-jarimu yang terbungkus perban. Ingin sekali kupreteli kain-kain putih itu. Mereka kejam. Beraninya mereka menaruh sesuatu yang menghalangi kulit kita berdua. Apa perlu kita marahi saja mereka?

Tidak. Buat apa membuang amarah. Membungkus tanganmu adalah pekerjaan mereka. Kau sedang sakit. Selain itu, kau juga sepertinya tidak begitu peduli. Kau tidak ambil pusing dengan kain-kain putih yang menggulung tanganmu. Kau bahkan membiarkanku sendirian mengisi ruang-ruang di jarimu, padahal biasanya kita saling mengaitkan jari tangan dan bersamaan menguncinya.

Kugeser tubuhku agar bisa duduk lebih dekat. Kini bersandarlah aku di tepian ranjang, bersisian tanpa ada sesenti pun diantara tubuh kita. Itu bukan hal mudah untuk dilakukan. Aku bahkan harus membantah dokter supaya aku bisa berdekatan denganmu seperti ini.

Sekali lagi mata cokelatmu kutatap. Kupikir, aku bisa mengembalikan dirimu dengan kontak mata. Siapa tahu dengan memandang kekasih tercintamu ini, keping-keping kisah yang pernah kita lalui dapat mengisi kembali ruang kosong di dalam kepalamu.

“Erik, apa kau ingat sesuatu? Kau ingat siapa yang sudah membuatmu seperti ini?”

Aku tahu perban di kepalamu sudah cukup mengatakan jika kau sendiri pun ingin tahu apa yang sudah terjadi.

“Erik, tolong katakan jika kau ingat sesuatu.”

Aku memang berharap kepalamu mengangguk. Bahkan, menggeleng pun masih akan kusyukuri. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak memberiku reaksi apapun.

Sudahlah, aku menyerah. Lagipula dokter sudah memberitahuku jika amnesia total tidak bisa begitu saja disembuhkan seperti mengobati panu. Kau kehilangan isi pikiranmu. Semuanya. Rela tidak rela, aku harus terima jika seluruh lembaran kisahmu dengan namaku di dalamnya juga ikut lenyap bersama ingatanmu. Sudahlah.

***

Aah, akhirnya bisa keluar juga aku dari ruangan itu. Pandanganku kini tak lagi berhias ranjang dan meja kecil berhias ragam obat-obatan di atasnya. Tembok-tembok putih yang memerangkapku kini berganti dengan udara luas beratapkan langit biru. Ragam wajah dan rupa manusia datang silih berganti, menyegarkan kedua mataku yang sedari tadi mesti menikmati sosok seorang laki-laki tak berdaya dengan perban di tangan dan kepalanya.

“Erik bagaimana, sayang?”

“Dia baik-baik saja.” kataku landai.

“Baik-baik saja? Ma-maksudnya?”

Aku tak tahan untuk tidak tertawa melihat reaksi laki-laki di depan mukaku itu. Dia seperti copet baru yang tertangkap di aksi perdananya.

“Tenang, sayang. Maksudku kita yang baik-baik saja.” kulingkarkan tangan mengalungi lehernya. “Dia seperti bayi baru lahir. Tak ada apa pun di dalam kepalanya sekarang. Jangankan kamu, aku saja yang pernah lama bersamanya dia tidak ingat.”

“Berarti, rencana kita berhasil, dong?”

Aku tersenyum puas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun