Mohon tunggu...
Mughniyah Ludiansari
Mughniyah Ludiansari Mohon Tunggu... -

a simple cat lover, elephant collector and caring sister

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kultur VS Religi

14 Juni 2011   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:31 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Malam Kompasianer semua,

Mudah-mudahan yang saya tuliskan malam ini nggak terlalu berat buat anda-anda semua. Saya hanya ingin bercerita tentang satu hal kecil yang cukup mengusik saya beberapa waktu belakangan ini. Dan saya murni ingin berbagi, tidak ada salahnya toh berbagi?!

Saat ini saya tengah dalam proses menyelesaikan master degree saya di salah satu universitas di Taiwan. Dan tentu saja, disini umat muslim maupun umat agama lain adalah kalangan minoritas. Karena sebagian besar penduduk Taiwan tidak memeluk agama. Bukan karena atheis, tapi karena mereka secara sederhana tidak percaya adanya Tuhan.

Tentu saja, disini saya juga banyak bertemu dengan mahasiswa dari negara lain yang juga tidak memeluk agama tertentu. Di laboratorium saya sendiri, semua mahasiswa internasional kecuali mahasiswa Indonesia, tidak memeluk agama.

Beberapa kali, mereka menanyakan pada saya. Mengapa saya memakai jilbab? Tentu saja saya utarakan dengan singkat, bahwa karena saya adalah seorang muslim. Dan karena sebelumnya senior saya yang juga mahasiswa Indonesia adalah muslim juga, mereka langsung mengerti, bahwa saya tidak boleh mengonsumsi babi, tidak boleh makan darah, tidak boleh minum-minuman keras saat kami ada acara makan-makan diluar dengan penghuni lab.

Karena hubungan kami sesama anggota lab cukup akrab, maka kami pun saling bertukar ID Facebook sehingga, bila kami ada foto bersama atau ada sesuatu yang lucu bisa saling men-tag atau mengomentari. Suatu ketika, mereka bertanya pada saya ketika melihat foto kedua adik saya di Facebook.

”Kok, adik-adikmu nggak pake jilbab?”, mereka bertanya dengan polosnya.

Jujur, pertanyaan ini membuat saya risau, dan salah tingkah ketika hendak menjawab. Saya takut memberikan penjelasan yang salah, sehingga persepsi mereka keliru tentang agama pada umumnya dan islam pada khususnya.

Kemudian, dengan sedikit ngeles saya menjawab,

”Mereka masih terlalu muda, mereka belum mau mengikuti aturan, dan keluarga kami tidak ingin memaksa mereka!”, aku mencoba menjelaskan.

”Jadi, itu bukan aturan yang harus diikuti?”, tanya salah satu dari mereka.

”Hm..itu adalah aturan, itu aturan yang wajib diikuti, tapi kadang-kadang di usia muda seperti mereka susah untuk mengikuti apa yang jadi kewajiban!”, saya mencoba menjelaskan se-general mungkin.

Untungnya, waktu itu saya diselamatkan oleh kesibukan, sehingga saya nggak harus berputar-putar dalam menjawabnya. Karena jujur saja, saya benar-benar nggak ada ide untuk menjelaskan, dan akhirnya saya sendiri pun bertanya-tanya. Aturan berjilbab itu ada untuk diikuti. Itu perintah, yang bila tidak dikerjakan maka akan berdosa. Segera setelah itu, saya berusaha menyemangati adik-adik saya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memohon supaya mereka diberi hidayah, sehingga nggak hanya jilbab yang dipakai, tapi amalan-amalan juga dikerjakan. Minimal yang wajib.

Saya menyadari, kultur di tempat kami tinggal (walaupun bukan kota besar) masih memandang bila jilbab masih dipandang sebagai simbol yang dipakai oleh orang-orang yang sudah dewasa, sudah menikah, atau orang-orang yang sudah naik haji. Walaupun sudah sama-sama tahu bahwa itu adalah aturan wajib, namun budaya untuk malu karena tidak melakukan kewajiban tersebut agaknya sudah luntur di kota tempat saya tinggal. Padahal di sebut sebagai Kota Santri. Waduh, saya mulai menghakimi.

Baiklah,

Yah, salah satu mahasiswa asing yang menjadi anggota lab saya adalah Cyr, di berasal dari Rep. Ceko. Dan beberapa hari yang lalu, saat kami merayakan kemenangan tim kami pada dragon boat festival dua minggu lalu, dia bertanya pada saya, awalnya hanya pertanyaan ringan, namun akhirnya pertanyaan tersebut mengarah pada suatu kesimpulan, yang merubah cara pandangnya.

Cyr: ”Jadi Ludi, karena kamu selalu pake jilbab, saya jadi penasaran, rambutmu seperti apa, panjang ato pendek? Dan warnanya apa? Dan lurus atau nggak? Atau, jangan-jangan kamu nggak punya rambut ya?”

Saya tertawa mendengar pertanyaannya yang terakhir. Karena suasana waktu itu cukup santai, saya pun memutuskan memberikan jawaban santai sebagai tanggapan

Saya: ”Hmm..coba tebak! Kira-kira saya punya rambut ato nggak!”

Cyr: ”Rasanya punya deh, aku bisa melihat sanggul dibalik jilbabmu, kalo ada itu (menunjuk sanggul) berarti kamu punya rambut, jadi, apa warna rambutmu?”

Saya: ”Apaaa yaa...masa gitu aja nggak bisa nebak? Payah deh..”

Cyr: ”Mana mungkin aku tahu, aku kan bukan cenayang, yang secara otomatis tahu, apa yang nggak diketahui orang lain!”.

Saya: (tertawa) ”Kamu sudah jalan-jalan keliling asia, dan aku adalah orang asia, masa kamu ga bisa nebak sedikit pun, apa warna rambutku?”

Cyr: ”Jadi, warna rambutmu hitam! Oh..begitu saja susah sekali ngejawabnya, aku kan benar-benar penasaran! Memangnya kamu harus menutup kepalamu dengan kain itu terus-terusan ya?”

Saya: ”Tentu saja, nggak boleh lepas ini! Yah, kecuali di rumah lah!”

Cyr: ”Oh, jadi, aku bisa lihat rambutmu kalo dirumahmu? Wah, kalo gitu, aku main ke rumahmu aja!” (kami tertawa)

Saya: ”Bukan gitu, kami tidak boleh memperlihatkan apa yang tidak boleh diperlihatkan di hadapan semua laki-laki kecuali ayah, saudara laki-laki dan suami”

Cyr: ”Tunggu, aku pernah menemukan wanita-wanita islam menutup wajah mereka, tapi kamu enggak! Jadi sebenarnya yang mana yang boleh diperlihatkan?”

Saya: ”Oh, itu..sebenarnya, yang boleh diperlihatkan hanya wajah dan telapak tangan. Jadi kalo ada yang menutup wajah mereka, bisa jadi, mereka itu terlalu cantik, sehingga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak-tidak! Itu optional, dan kondisional.”

Cyr: ”Oke, saya sebenarnya nggak terlalu mengerti, tapi apa yang terjadi kalo seumpama ada yang melihatmu tidak menutup kepala dan sebagainya? Apakah kamu akan mendapat hukuman atau sejenisnya?”

Saya: ”Yah, tentu saja, kalau hal itu terjadi, ya kita berdosa, tapi hukumannya nanti. Karena itu menyangkut hubungan kami dengan Tuhan kami. Itu adalah tanggung jawab kami”

Cyr: ”Benarkah? Semudah itu? Tunggu, aku pernah mengalami cerita yang agak berbeda. Jadi saya punya teman di Jerman yang berpacaran dengan wanita muslim. Dan ketika keluarga mereka tahu, mereka menghukum gadis itu, mereka memukulinya sampai mati! Mereka sungguh kejam!”

Saya: ”(Innalillahi..), benarkah?”

Cyr: ”Sungguh, aku nggak bohong! Mungkin mereka dari golongan islam radikal atau sejenisnya yang sangat keras dalam menyikapi sesuatu! Entahlah..bagaimana menurutmu?”

Saya: ”Rasanya dalam aturan agama saya, ada perintah untuk menjaga anggota keluarga kita dari segala macam keburukan. Temanmu mungkin bukan orang jahat, tapi dia bukan islam, jadi tetap tidak baik buat kami untuk menjalin hubungan atau bahkan menikah dengan mereka. Karena agama kami melarang untuk menjalin hubungan atau menikah dengan yang bukan dari agama kami. Tapi, seketat apapun menjaga anggota keluarga mereka, harusnya mereka tidak sekeras itu”

Cyr: ”Jadi menurutmu, cewek ini juga salah?”

Saya: ”Sayangnya iya, cewek itu salah. Karena dia pasti sudah tahu aturan itu, tapi dia tetap sengaja melanggarnya. Mungkin karena budaya atau pergaulan disana begitu nyaman untuknya, jadi dia merasa nggak apa-apa untuk melanggar aturan itu. Tapi, aku tetap kurang setuju juga sama sikap keluarganya yang seperti itu!”

Cyr: ”Jadi bagaimana dengan keluargamu?”

Saya: ”Hmm.. ambil contoh adik-adikku. Mereka nggak pakai jilbab seperti aku gini. Ya, bukannya mereka nggak tahu sama aturan itu, tapi mereka masih belum mau buat mengikuti aturan yang sudah jelas-jelas harus mereka ikuti! Tapi ayahku nggak ekstrim dalam menerapkan aturan ini. Ayahku menciptakan kondisi secara terus-menerus sehingga mereka mengerti dan kami sama-sama berharap suatu saat mereka mau pakai jilbab seperti yang aku pakai!”

Cyr: ”Ooohh...begitu, aku agak setuju dengan hal itu! Terutama kalau mereka masih muda! Harus diberi banyak pengertian. Memaksa sama saja mengajari mereka untuk melawan!”

Saya: ”Ya, benar!”

Cyr: ”Lalu, bagaimana dengan budaya di Indonesia? Karena islam adalah agama mayoritas di Indonesia, apakah islam juga punya pengaruh dalam budaya di Indonesia?”

Saya: “Jujur, sebenarnya adat istiadatlah sendiri yang memberikan pengaruh pada agama islam di Indonesia. Padahal adat istiadat tersebut tadinya dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan lain yang bukan islam.”

Cyr: “Oh ya??? Masa? Kalo di negaraku, walaupun kami nggak memeluk kristen, tapi kami tetap merayakan natal dan paskah! Masa di negaramu enggak?”

Saya: (tertawa, tapi kemudian berhenti karena wajahnya serius sekali) “Jadi begini Cyr, di Indonesia, tetap ada hari libur nasional yang memperingati hari besar agama islam, tapi bukan berarti agama lain gak ada hari besarnya. Dan kalo yang orang islam ya merayakan hari raya islam, yang lain juga begitu. Kami nggak pernah campur baur dalam merayakan hari besar!”

Cyr : “Jadi agama benar-benar nggak ada pengaruh sama kultur kalian ya?”

Saya: “Mm..rasanya justru sebaliknya, kadang-kadang kultur yang mencampuri urusan religi seperti ini. Contohnya keluarga saya, ibu saya berasal dari keluarga yang memegang teguh adat istiadat yang sudah dilakukan nenek moyang kami. Dan kebanyakan adat tersebut bertentangan dengan ajaran agama islam. Tentu saja, aku sudah sering mengalami keadaan dan dilema apakah aku harus mengikuti adat tersebut atau tidak. Karena kalau diikuti berarti aku melanggar ajaran agama, kalau tidak diikuti aku akan menyakiti hati seluruh keluarga besarku. Susah kan? Jadi akhirnya, aku berusaha sendiri untuk memisahkan kehidupan kultur dan religiku. Karena rasanya tidak fair, kalo harus mencampur adukkan keduanya, padahal aku tahu itu salah!”

Cyr: “Oh, aku jadi mendapatkan pandangan baru tentang kehidupan beragama! Selama ini aku selalu berpikiran, kalau religi itu erat kaitannya dengan kultur, jadi pasti ada pengaruhnya! Aku baru tahu, kalo keduanya bisa dipisahkan. Jadi apa tanggapan keluargamu tentang hal ini? Maksudku pandanganmu untuk memisahkan kehidupan kultur dan religi?”

Saya: ”Sejauh ini mereka menghargai pendapatku, pelan-pelan aku pun berusaha menjelaskan pada mereka, bahwa tidak benar mencampur adukkan keduanya! Aku tidak ingin memaksakan pendapat lah, Cyr.. Aku hanya memberi tahu, apa yang aku tahu itu benar!”

Cyr : ”Waaah...saya senang sekali berdiskusi sama kamu, mungkin itu sebabnya mengapa keluarga gadis yang aku ceritakan tadi keras. Karena mereka adalah kaum minoritas, dan berusaha untuk menunjukkan keeksisannya. Karena aku tahu, diskriminasi agama di Eropa sangat keras! Aku jadi mengerti mengapa mereka melakukan hal itu!”

Dan kami berdiskusi lagi dengan cukup panjang, dengan ditimpali oleh teman-teman dari Indonesia yang lain. Sehingga dia mendapat cukup banyak informasi tentang agama kami. Apa yang boleh, dan apa yang tidak. Dan semakin dijelaskan, dia semakin menghargai pilihan hidup kami. Agama islam. Alhamdulillah.

Saya jadi berpikiran, bahwa mengetahui seluk beluk islam kian dalam nggak membuat saya menjadi orang yang fanatis sempit. Tapi justru membantu menguatkan saya dan menambah wawasan saya, sehingga ketika menghadapi hal-hal seperti ini, saya bisa memberi jawaban yang baik. Benarlah kata-kata ”kalau tidak berilmu, tidak akan bisa beramal” yang sudah sering terngiang dalam kuping saya.

Saya sendiri selama di sini sudah kenyang digoda oleh mahasiswa asing yang tidak beragama itu, dengan mengatakan aku tahu warna rambutmu, ataupun penduduk setempat yang mengatakan, kamu harusnya nggak pakai kain itu, itu bukan cara kami berpakaian disini. Sekarang saya mengerti, bahwa mereka nggak otomatis paham seperti umumnya penduduk Indonesia. Dan karena minoritas, kami pun nampak aneh disini. Tapi sejauh ini saya bersyukur, walaupun kalau di tempat umum, saya sering dihindari atau dicibir orang, setidaknya di laboratorium dan asrama, saya diterima dengan baik, dan dihargai ketika melaksanakan ibadah ataupun saat makan bersama.

Jadi, ada baiknya kita mulai mencari tahu dan berusaha memahami, agama yang kita anut ini. Bukan untuk sok alim, bukan mencari celah, bukan demi ketenaran, pujian apalagi saling menentang. Tapi untuk mencari jalan yang benar, dan menyampaikan yang benar dengan cara yang benar.

Selamat malam,

Wassalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun