Mohon tunggu...
Ludiana Septi Susanti
Ludiana Septi Susanti Mohon Tunggu... -

seorang pembelajar hidup yang kan terus berjuang menyongsong fajar hingga fajar temaram

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Selalu Pengen Ikhlas

10 November 2013   18:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diawali dengan rinai hujan yang belum reda sore ini.

Teriring doa yang membasahi tanah. Aroma khas nan sengir pun menusuk-nusuk lubang hidung. Ku rasa ini saatnya mendamaikan diri, hati dan perasaan. Diiringi lagu alam, tetesan hujan yang menghujam atap tanah liat coklat. Sejuk, tenang, damai. Suasana yang membawa pada sebuah memoar yang tidak mengenakkan. Memori yang tersimpan dalam hati namun terpaksa terungkapkan sebagai wujud protes ketidak ikhlasan.

Masalah hati siapa yang tau. Ia yang pandai membolak-balikkan hati, kadang suka, mendadak lara. Kadang gundah mendadak ceria. Ah sudah seperti cuaca saja, yang sudah tak tentu kondisinya. Tapi itulah kehidupan, kita harus senantiasa berbaik sangka pada yang mencipta.

Belajar Ikhlas

Pernahkah merasa gusar karena apa yang kita kerjakan selalu mendapat teguran atau cemoohan dari teman?. Pernahkah merasa menyesal memberikan barang kesayangan meski hanya dalam hati, mbatin. Dalam bukunya Mencari Ketenangan Ditengah Kesibukan karya Ust. Fauzil Adzim beliau mengupas tiga kunci pokok untuk meraihnya, yaitu sabar, ikhlas dan zuhud (sederhana). Satu poin penting tentang ikhlas.

ikhlas itu seperti surat “Al-Ikhlas”, tak ada satupun kata ikhlas bahkan disebut dalam ayat-ayatnya.

itulah ikhlas, merelakan. Mengalah. Bukan berati kita lemah, tapi insyaAllah justru akan mengantarkan kita pada ridhoNya. Tidak menuntut, atau bahkan sampai mengedepankan ego hanya untuk sebuah “sebutan”. Apa bangga rasanya jika dielu-elukan manusia? Apa banggaya sih dipuja-puja banyak orang? Lantas kita melupakan bahwa dunia dan segala tawaran keindahannya ini hanya JEMBATAN menuju jannahNya, menuju kehidupan yang lebih kekal, akhirat.

ikhlas itu seperti “besi”, meski sudah ditempa, dibakar, dipukul berulang kali, ia tak disebut kembali ketika sudah menjadi “pedang”

Susah payah kita mengerjakan. Berpeluh hingga kepayahan kita sendiri yang menanggung. Tapi akhirnya, tak sekalipun nama kita disebut. Bayangkan kamu menjadi donatur sebuah yayasan hampir 50%nya kamu yang menyumbang atas nama anda, tapi ternyata, namamu gak disebut dalam daftar donatur, entah karena lupa atau bagaimana. Apa masih rela? Udah ikhlaskan aja, ya memang ngomong lebih mudah tapi pasti tetap mbatin juga kan? Nah, apa masih bisa disebut ikhlas jika masih dibatin gitu? wallahualam bishowaf

InsyaAllah Allah maha mengetahui. Dan memang masalah niat itu erat kaitannya dengan keikhlasan menunaikan sebuah perbuatan. Apa yang akan kamu peroleh ya berawal dari apa niat kamu diawal. Kalau niatnya hanya untuk mencari sanjungan orang, kamu bisa dapat, tapi rido Allah, siapa yang tau. wallahualam

ikhlas seperti Ali bin Abi Thalib, saat pedangnya sudah menempel di leher musuhnya, saat ludah orang kafir mendarat di wajahnya. Dan saat itu pula gerakan sedikit saja pedang miliknya akan seketika memutuskan leher sang musuh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun