Dengan memiliki 17.504 pulau dan luas sebesar 1,905 juta km2, Indonesia dinobatkan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Oleh karena itu, Indonesia berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam menjaga pertahanan dan kedaulatannya.
Kekuatan militer Indonesia sendiri saat ini berada pada posisi 16 dari 137 negara di dunia, mengalahkan Israel yang berada di posisi 18 menurut Global Firepower. Kemampuan militer Indonesia ini paling menonjol pada sektor darat, contohnya adalah prestasi penembak TNI AD dalam lomba tembak Australian Army Skill at Arms Meet (AASAM) sebanyak 12 kali berturut-turut.
Selain memperkuat kemampuan tentara di sektor Angkatan Darat, Indonesia turut memperkuat sektor maritim dan udara dengan membeli alutsista yang canggih.
Di sektor maritim misalnya, TNI AL memiliki KRI Rigel-933 buatan Perancis yang adalah kapal bantu Hidro-Oseanografi, kapal selam Nagapasa 403, dan juga KRI I Gusti Ngurah Rai 332. Di sektor udara, TNI memiliki helikopter seperti Apache AH 64E, Bell-412 EPI, hingga pesawat tempur seperti Sukhoi 27 SU-27 dan Sukhoi 30 SU-30 buatan Rusia, dan juga F-16 Fighting Falcon buatan Amerika Serikat.
Kebijakan Indonesia membeli alutsista pesawat tempur yang dibeli dari dua negara berkekuatan besar (great power) yaitu Rusia dan Amerika Serikat dilakukan oleh Indonesia untuk memiliki backup power jika terjadi permasalahan seperti embargo dari salah satu negara. Kesepakatan Indonesia membeli 11 unit Sukhoi SU-35 dengan dana US$1,14 miliar atau Rp16,75 triliun dari Rusia, terancam membuat Indonesia dikenai embargo Krimea Amerika Serikat.
Embargo ini diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap Rusia beserta negara-negara ketiga yang terlibat dalam kerja sama dengan Rusia. Embargo Krimea ini dibuat dikarenakan aneksasi dan pelanggaran hak asasi manusia di Ukraina yang dimotori oleh Rusia di bulan Februari 2014.
Embargo ini sendiri berlaku hingga 31 Juli 2020. Hal ini membuat perjanjian kontrak pembelian Sukhoi SU-35 menjadi terhambat dari tahun 2018 hingga sekarang, selain faktor pembayaran.
Dalam pandangan realisme, tindakan Amerika Serikat ini dapat terjadi karena adanya security dilemma. Security dilemma ini terjadi pada sistem politik yang bersifat anarki, yaitu sistem tanpa adanya kekuasaan yang berlebihan, tidak ada pemerintahan dunia (Jackson dan Sorensen, 2013 : 113).
Berdasarkan SIPRI Arms Transfers Database (12 Maret 2018), Amerika memimpin pasar ekspor persenjataan dunia dari tahun 2013 hingga 2017 dengan 34%, sementara Rusia berada di kedudukan kedua dengan 22%. Amerika Serikat berusaha untuk membendung pengaruh Rusia karena takut Rusia akan menjadi yang paling berkuasa di sistem politik internasional.
Ini juga termasuk ke dalam teori realisme ofensif milik Mearsheimer yaitu dimana kekuatan besar selalu mencari peluang untuk mendapatkan kekuatan melebihi pesaingnya, dengan hegemoni sebagai cita-cita akhirnya (Mearsheimer, 2001 : 29).