Mohon tunggu...
Lucyana Alim Santoso
Lucyana Alim Santoso Mohon Tunggu... -

a woman with passion for humanity, writing, and children.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tak Perlu Mewah untuk Jadi Betah

28 Juni 2014   20:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:24 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sudah terbiasa dengan gaya hidup di perkotaan, ya mungkin bagi beberapa orang tidak, tetapi untuk sebagian besar kita. Jalan aspal, rumah berlantai, air dan listrik yang senantiasa mencukupi sudah menjadi hal yang lumrah sehari-hari, bahkan seringkali anugrah - anugrah yang tampaknya biasa tersebut kita anggap remeh sampai tidak menghargai. seperti kata pepatah kan, "you'll never know what you have until you lost it".
Ya kurang lebih begitulah pengalaman pribadi yang saya alami ketika mengadakan pengobatan gratis di pedalaman Kalimantan Barat, tepatnya di desa Satak, Sikabuk dan Tampa, dan yang berkesan bagi saya adalah desa yang kedua, Satak.
Sekilas pandang dulu tentang desa Satak tersebut ya. Satak dapat ditempuh dengan jalan darat, yang melewati jalan tanah, naik turun gunung dan jalan berbatu-batu sekitar 3-4 jam dari kota Pontianak. Desa ini tidak dapat dicapai kalau kondisi hujan, karena jalan tanah akan menjadi sangat licin, dan berbahaya bagi mobil karena bisa selip. Selain itu perjalanan harus dilakukan ketika masih siang, karena kami melewati daerah-daerah hutan, yang tidak ada lampu penerangan jalan di malam hari. Kehidupan di desa masih sangat sederhana, belum ada listrik, walaupun air melimpah disana karena daerah pegunungan. Tidak ada jembatan yang terbuat dari besi ataupun beton, yang dipakai untuk jembatan adalah potongan kayu-kayu ulin yang memang asalnya dari daerah sana. Jadi mobil kalau mau lewat jembatan juga alasnya kayu itu. apa nggak patah? dibebani mobil yang penuh penumpang dan barang ? (kami memakai 2 mobil disana yaitu innova dan avanza, konvoi). nggak tuh.. hebatnya Sang Pencipta, yang tau memberi "fasilitas" di tempat yang memang membutuhkan.
Pemandangan di sana, kanan kiri ya pastinya tak ada gedung tinggi, apartemen mewah, hotel (?) ya nggak ada. Yang ada hanyalah sawah, pohon-pohon hijau, binatang peliharaan warga yang berkeliaran sampai ke jalan. Waktu itu saya dan teman-teman mengadakan pengobatan gratis selama 3 hari 2 malam dan tinggal di rumah penduduk yang serba sederhana. Lantai semen, kamar tak berpintu (beneran lho, cuma pakai tirai aja), ditemani serangga dan binatang-binatang kecil yang bisa menyusup lewat sela-sela rumah atau pintu. kami beruntung karena rumah penduduk yang kami menginap masih memiliki jenset, sehingga malam-malam masih bisa menyalakan lampu, masih bisa ngecharge gadget, padahal listrik belum masuk desa.
Jarak antar rumah disana jauuuhh, gak kaya di Jakarta sini yang harga tanah mahal, rumah sepetak, empet-empetan sana sini. disana tanah mereka luas, piaraannya banyak, yang umum adalah kucing dan anjing dengan sekompi pasukannya (baca: anak istrinya), selain itu ada ayam, babi-babi lincah, hitam, nan gemuk yang merupakan sumber ternak juga untuk penduduk sekitar.

Buat saya yang sudah terbiasa dengan kehidupan di Jakarta, sejujurnya agak cultural shock juga disana, meskipun dibesarkan bukan di kota besar seperti Jakarta tapi ya kota kecil saya dulu gak kampung-kampung amat. tapi walaupun awalnya sempat "kaget budaya" dan mikir, haduh gimana ya kalo saya disuruh tinggal di tempat begini? tapi anehnya saya bisa betah lho tinggal disana. Tidak seperti di Jakarta yang tetangga komplek saja belum tentu kenal, disana suasana kekeluargaannya sangat tinggi, bagaimana tidak? wong satu desa kenal semua. Anak-anak sedesa main bareng di ladang, atau rerumputan depan sekolah, maupun gereja. Bapak-bapaknya saling tolong untuk membereskan tempat, mengangkat bangku-bangku plastik untuk antrian di pengobatan gratis yang kebetulan saat itu meminjam tempat di gereja lokal. Ibu-ibunya juga saling tolong di dapur, memasak begitu banyak makanan bagi tim kami (sekitar 10 orang). Bahkan, ada satu anak kecil yang sangat menarik hati saya, di kala teman-teman sebayanya asyik bermain dan ribut di sekitar tempat pengobatan, anak lelaki berusia 12 tahun dengan perawakan kecil ini malahan membantu orang dewasa untuk mengelap kursi, membersihkan jendela, mengangkat kursi.
Apa pelajaran yang saya petik dari pengalaman ini? Ternyata yang bisa membuat seseorang merasa nyaman dan betah, bukan cuma bergantung pada fasilitas yang mewah, serba ada, serba tercukupi...Justru ketika yang serba enak itu diambil dari kita, hal-hal biasa di sekitar kita yang simpel dan selama ini terlewatkan justru menjadi menonjol, dan salah satunya adalah rasa kekeluargaan, perasaan bahwa kita diterima dan dikasihi. Selain itu, kita bersyukur bahwa di tengah kekurangan dan fasilitas yang terbatas, kita menyadari betapa beruntungnya hidup kita selama ini, dan belajar untuk "don't take anything for granted".

Semoga tulisan ini bermanfaat dan mengingatkan kita semua. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun