Mohon tunggu...
Lucky Nurachman Natawiria
Lucky Nurachman Natawiria Mohon Tunggu... lainnya -

Saya adalah manusia biasa yang memiliki khayalan. Oleh karena itu, saya melampiaskan khayalan itu menjadi postingan dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Eneng

16 Maret 2015   13:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:35 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di kaki gunung Galunggung itu masih ditumbuhi beraneka tanaman hijau seperti bambu, palawija, bahkan sawah pun terbentang yang dibantu oleh sungai yang mengalirkan air jernih. Selain itu, banyaknya desa dengan rumah khas Priangan timur yang berdinding bambu itu berdiri dimana-mana. Disitulah ada salah satu kembang desa yang bernama Eneng.

Walaupun Eneng sebagai kembang desa, gadis tercantik di desa itu, sayangnya Eneng memiliki kejiwaan yang terganggu. Karena ia mengalami gangguan jiwa, ia diasingkan oleh Emak, seorang janda dari desa tersebut, di surau yang sudah tidak dipakai oleh warga.
Dalam keseharian, Eneng selalu diberi makan dan dimandikan oleh orangtua tunggalnya. Eneng juga selalu melakukan gerakan yang tidak wajar yaitu mengangkat tangannya ke atas dan jika tangannya diturunkan, ia merasa marah hingga ia menangis.
Bulan kedua di awal tahun biasanya desa tetangga Eneng didatangi oleh mahasiswa-mahasiswi perguruan tinggi negeri dari kota untuk melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Mereka belajar untuk bagaimana ilmu mereka diterapkan dalam masyarakat desa.
Belakangan ini desa Eneng tinggal tidak pada umumnya. Para tunas bangsa dari kota itu datang untuk melakukan KKN. Semua warga termasuk Emak selaku warganya pun turut merayakan kedatangan mereka. Namun sayang, Eneng tidak ikut dalam kemeriahan acara itu. Karena warga merasa takut jika Eneng berbuat hal yang tidak diinginkan.
Sehari-dua hari para mahasiswa diistirahatkan di rumah dekat kepala desa tinggal. Di hari ketiga mereka berpencar melakukan observasi desa untuk mengenali potensi desa yang mereka jadikan tempat mereka menuntut dan berbagi ilmu pada warganya.
Suatu ketika, Eneng sedang disuapi Emak di depan surau. Mereka didatangi seorang pemuda dengan pakaian lebih trendi dibandingkan dengan pakaiannya mereka yang terlihat lebih sederhana.
“Maaf bu, saya Alpha,” Pemuda itu memperkenalkan diri.
“Alpha, mahasiswa universitas yang KKN disini, ya?” Emak bertanya dan Alpha mengangguk.
“Maaf bu, saya mau lihat-lihat desa ini. Boleh?” Emak mempersilakan dan Alpha mengamati sekitarnya.
Mata Alpha melihat Eneng dengan pandangan yang aneh, ia merasa ada yang janggal dengan sosok Eneng.
“Maaf bu, saya mau nanya. Ini anak ibu?” Alpha kembali bertanya dan Emak mengangguk.
“Maaf bu kalau tersinggung, mengapa anak ibu mengangkat tangannya?” Alpha terus bertanya guna mencari tahu.
“Gak tahu ya, semenjak ayahnya pergi, dia gak pulang-pulang.”
“Maaf bu, mungkin anak ibu kangen ke bapaknya jadinya ia, maaf bu, ia jadi gila.”
“Iya kayaknya gitu, nak Alpha.”
Alpha mendengarnya langsung ia catat dalam buku yang ia bawa. Sepertinya ia mencatat apa yang ia dapat dari pengamatannya. Alpha kemudian berpamitan kepada Emak untuk kembali menyelusuri desa itu.
Sepuluh hari berikutnya, tujuh mahasiswa berdatangan ke depan rumah Emak. Mereka membawa bingkisan. Pintu rumah Emak diketuk.
“Assalamualaikum, punten, bu.”
“Walaikumsalam, mangga.” Emak mempersilakan masuk mereka tetapi menolaknya karena ingin langsung memberikan bingkisan pada Emak.
“Emak ini bingkisan dari kami…”
“Aaaaah!!” Eneng berteriak. Ketujuh mahasiswa dan Emak terkejut melihat Eneng yang berteriak di belakang mereka. Emak kemudian teringat pada sesuatu yang terjadi dengan anaknya.
“Duh maaf ya barudak, anak saya begini.”
“Oh gak apa-apa, bu.”
“Saya jadi ingat, dia jadi gila gini karena sering diledek sama teman-temannya.”
“Oh gitu, diledek karena apa, bu? Kami mungkin bisa bantu membantu menyelesaikan masalahnya. Soalnya kami punya dosen yang juga jadi dokter jiwa, namanya Beti.”
“Gini, setelah pengajian Eneng suka ngebantuin orang miskin di desa seberang tapi pas saat itu juga Eneng suka diledek dengan sebutan riya. Akhirnya dia gak mau nolongin orang miskin lagi. Dari sejak itu juga Eneng dimarahin sama orang miskin dari desa seberang karena disebut pelit.”
“Oh gitu, bu. Mungkin anak ibu gak kuat dengan panggilan jelek dari temannya dan orang miskin itu.”
“Iya kayaknya gitu.”
“Ya nanti kami kabari ke ibu Beti untuk membantu menyembuhkan anak ibu.” Setelah itu ketujuh mahasiswa tersebut meminta izin untuk kembali bertugas di desa itu.
Hari kesebelas hingga akhir bulan, Emak menuggu janji dari mahasiswa KKN tersebut. Ia mengharapkan kedatangan dokter ahli yang dapat mengobati kejiwaan putrinya.Tidak lama, sekumpulan orang berpakaian serba putih datang menghampiri Emak.
Mereka langsung mengetuk pintu. Emak melihat mereka dengan memperkirakan bahwa mereka adalah bala bantuan dari mahasiswa yang akan menyembuhkan putri semata wayangnya.
“Ibu apa disini ada orang yang mengalami kejiwaan?” salah satu dari orang berpakaian putih itu bertanya pada Emak. Emak mengiyakan dan dalam hatinya berkata, Syukurlah anakku mau disembuhkan.
Tanpa basa basi Emak menunjukan Eneng berada.
“Bukan ini yang kami cari, bu. Kami mencari Alpha, seorang pria yang mengaku mahasiswa KKN, dari kabar warga bahwa Alpha sempat mengunjungi rumah ibu. Jadinya kami mendatangi rumah ibu,”
“Tapi, anak saya juga gila, pak dokter.”
“Itu bukan urusan kami, kami hanya mengurusi apa yang disuruh ibu Beti untuk mengobati Alpha, pasien kami yang hilang dari rumah sakit sejak sebulan yang lalu.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun