Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di tanah Tegal, ngeteh bukan saja gaya hidup melainkan seperti daya hidup bagi saya. Bagaimana tidak, sebelum mengenal susu saya lebih dulu dicekoki teh oleh orang tua. Katanya, sebagai tanda kalau saya memang betulan lahir di Slawi.
Slawi merupakan pusat kota di Kabupaten Tegal, disana banyak berdiri pabrik-pabrik teh yang konon berusia lebih tua dari usia republik ini. Sebut saja Tong Tji yang lahir tahun 1938, disusul Teh Sosro yang merintis teh wangi melati di tahun 1940 dengan merek Cap Botol. Pada perkembangannya, kemudian bermunculan merek-merek teh raksasa yang dikenal sampai sekarang seperti Teh Gopek, Teh 2 Tang dan Teh Poci.
Selain maraknya pabrik teh di Tegal, budaya ngeteh disana juga lebih beken ketimbang budaya ngopi, meskipun sekarang ini mulai menjamur pula kedai-kedai kopi di pusat kota pasca meledaknya film filosofi kopi. Sehingga kalau ada orang Tegal yang lebih doyan kopi ketimbang teh itu patut dipertanyakan ke-tegalan-nya. Haha Nggak lho guyon.
Sangkin kentalnya teh di kalangan masyarakat Tegal, mereka memiliki mazhab tersendiri untuk minum teh yang diwarisi leluhur secara turun temurun, yakni moci. Istilah moci merupakan akronim dari kata minum (teh) dan poci, ialah sebuah mazhab minum teh dengan gula batu yang disajikan menggunakan teko yang terbuat dari tanah liat.
Soal cita rasa, saya kira Mazhab yang satu ini tidak perlu diragukan lagi keabsahannya di lidah, baik bagi warga lokal maupun para pelancong dari luar kota yang kulineran di kota ini.
Saya ingin mengkaji mazhab moci melalui pendekatan ala-ala sosio historis yang sok ndakik. Konon, tradisi moci ini sudah ada jauh sebelum abad ke-17. Hal itu didasarkan pendapat Antropolog Universitas Gajah Mada, Pande Made Kutanegara. Menurutnya, Jauh sebelum tanaman teh datang ke Indonesia sekitar abad ke-17, Tegal sudah memiliki budaya minum teh yang berakar dari China. Pada awal mulanya, teh didatangkan langsung dari negeri tirai bambu tersebut. Kemudian hingga pada masa penjajahan dan tanam paksa. Berdasarkan penuturan, buruh-buruh di Tegal hanya ditinggali batang-batang teh dan sisa-sisa pengiriman. Sehingga, hal itu membentuk selera konsumsi orang Tegal terhadap teh yang sepet dan pekat, berasal dari batang teh  yang ikut digiling bersama daunnya.
Tapi jangan salah, teh yang meskipun campuran batang-batang dan daun sisa pengiriman itu, kemudian diolah oleh masyarakat setempat dicampur dengan bunga jati diri bangsa, melati. Lalu disuguhkannya dengan gula batu, tanpa diaduk, menjadi satu cita rasa yang legendaris. Seperti musik jazz, yang sekarang mewah tapi sebetulnya lahir dari penderitaan kaum buruh.
Belakangan, di kalangan milenial muda, moci mengalami perluasan makna dari yang sebatas aktivitas meminum teh menjadi satu makna baru. Di berbagai komunitas masyarakat Tegal maupun forum perantauan, mudah kita jumpai penggunaan kata "moci" untuk menyebut aktivitas diskusi, kongkow, cangkrukan dan sejenisnya. Biasanya mereka kerap menggunakan kalimat "moci oh yuh" sebagai bentuk ajakan berdiskusi, kongkow dan cangkrukan. Hal itu terjadi paling tidak karena kultur masyarakat Tegal yang terbiasa moci sambil ndopok (ngobrol) ngalor ngidul dari mulai membahas politik, sosial, ekonomi sampai isu-isu tranding topik. Sehingga, kepopuleran istilah moci menjadi memiliki makna baru untuk diterapkan.
Perluasan makna tersebut pertama kali saya rasakan empat tahun lalu saat awal masuk kuliah di sebuah universitas di Jakarta. Di kampus, saya tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Tegal, yang rutin mengadakan diskusi mingguan yang biasa kami sebut dengan moci. Sudah barangtentu di dalamnya sama sekali tidak ada aktivitas meminum teh. Ini menarik, artinya, kepopuleran moci mulai membuka cabang di kota-kota besar di seluruh Indonesia, dengan catatan harus ada perantau dari Tegalnya lho, ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H