Dalam situasi seperti ini, ketika seorang agnostik beranggapan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui atau dibuktikan.Â
Seyogyanya, sebagai pemeluk agama kita mesti berterimakasih, karenanya kita lantas merasa tertantang untuk turut mempertanggungjawabkan keyakinan kita akan keberadaan Tuhan secara matang.Â
Tujuannya tidak untuk mendebat orang-orang agnostik macam Coki, melainkan untuk memantapkan keimanan dalam diri kita masing-masing terhadap keberadaan Tuhan yang diyakini secara mutlak.
Istilah "mempertanggungjawabkan" dirasa sangat tepat dalam kasus ini, karena secara sadar maupun tidak, sebagai umat beragama kita seringkali merasa cukup puas dengan agama warisan orang tua.Â
Tentu tidak ada yang salah dengan pemahaman seperti itu, namun yang cukup memprihatinkan kita menjadi tidak terbiasa untuk berpikir kritis tehadap sesuatu yang bahkan kita sendiri yakini.
Dalam agama yang saya anut misalnya -- islam - Allah SWT secara gamblang 'menantang dan melatih' manusia untuk menggunakan akalnya.Â
Jika dicermati, seluruh kata "Akal" yang termuat dalam redaksi Alquran disampaikan dalam bentuk kata kerja. Maknanya, manusia secara aktif harus menggunakan akal dalam kesehariannya, termasuk berpikir kritis.
Pada akhirnya, tulisan ini tidak betul-betul  mendebat antar satu kepercayaan dengan yang lainnya. Melainkan, diharapkan mampu menjadi titik balik kita untuk bersama-sama mempertanggungjawabkan kepercayaan yang selama ini kita warisi dari orang tua.Â
Supaya kita betul-betul secara sadar dan matang meyakini dan memeluk suatu agama tertentu, kemudian dapat hidup berdampingan dengan damai sebagai sesama manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H