Jika pada abad pertama (1912-2012) Muhammadiyah dinilai berhasil dalam tiga bidang pelayanan (amal): pendidikan, penyembuhan dan gizi, maka pada abad kedua Muhammadiyah berdedikasi memajukan peradaban umat berbasis gerakan literasi, yaitu gerakan untuk mendidik, mencerahkan, dan memajukan masyarakat nasional agar menjadi bangsa yang beriman, berilmu, cinta kasih, dan santun. Meminjam ungkapan Din Syamsuddin, Muhammadiyah yang didakwahkan pada abad kedua harus mempunyai visi pembebasan (tahrir), pencerahan (tanwir), pemberdayaan (taqwiyah, pemberdayaan), dan kemajuan peradaban manusia dan bangsa.Inti dari Gerakan Literasi Peradaban adalah gerakan literasi, agama, ilmu pengetahuan, teknologi digital dan nilai-nilai kehidupan Islam yang progresif. Literasi yang membudayakan memposisikan masyarakat sebagai agen peradaban sehingga pendekatan hidup (way of life) mereka tidak sekedar hidup untuk makan dan bertahan hidup, mencari kekayaan dan merebut kekuasaan, apalagi dengan cara apapun yang diperlukan.
Berdasarkan teologi Al-Ma'un, konsep dan implementasi Islam progresif memerlukan perpaduan dua model kritis secara simultan, yaitu kritik teks dan kritik konteks (realitas sosial) selalu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (science, technology). . dan seni) dan kepentingan sosial masyarakat. Oleh karena itu, lulusan sistem pendidikan muhammadiyah harus mampu menampilkan profilnya sebagai khaira umma dan ummatan wasathan (umma moderat, umma moderat), tidak ekstrim kanan dan tidak ekstrim kiri, tidak anarkis dan tidak teroris, toleran namun tegas, tegas dan tegas. kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan tidak berpihak pada kepentingan umat dan bangsa (Wahab, 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H