Mohon tunggu...
Lusius Sinurat
Lusius Sinurat Mohon Tunggu... Trainer, Penulis & Editor Buku, Essais -

Public Trainer & HR Consultant of Cerdas Bersinergi Consulting http://www.cerdasbersinergi.com | Founder/Ketua Dewan Pembina LSM DAG-DKI www.dag-dki.com | Blogger www.lusius-sinurat.com | Twitter @5iu5

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Nasionalisme Menekan Keragaman Budaya

15 Juni 2016   21:06 Diperbarui: 15 Juni 2016   21:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi Pemimpin di RRT, Korea, India, Pakistan, Jepang dan sebagian besar negara eropa sepintas terlihat mudah, karena mereka hanya memimpin masyarakat yang secara kultural memiliki kesamaan. - kendati seiring perkembangan jaman semua kultur sudah semakin melebur.

Tapi coba bayangkan betapa sulitnya memimpin negara seperti Amerika dan, tentu saja Indonesia. Secara kultural pasti tak mudah. Bisa jadi di Amerika lebih mudah, karena kebudayaan yang mereka 'miliki' tak sebanyak di Indonesia.

Apalagi seiring perkembangan teknologi komunikasi perkawinan budaya justru semakin menggiring kita pada keniscayaan identitas tunggal. Maka tak mengherankan ketika banyak orang mulai mengidentifikasi diri hingga kembali jatuh pada semangat primordialisme sempit.

Dalam konteks Indonesia, konflik kultural bukan hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi juga terutama di pemerintahan daerah. Biasanya orang secara arkhaik selalu mempersoalkan siapa penduduk asil dan siapa pendatang, siapa tuan rumah dan siapa tamu?

Kerap terjadi perang terbuka antar kultur yang satu dengan kultur yang lain, kendati seringkali dibungkus dengan perang antar-agama; tetapi jauh lebih banyak terjadi justru perang tertutup antar suku.

Sebagian besar orang Sunda misalnya tak mau disebut orang Jawa. Ini persis ketika sebagian kecil orang Karo tak mau menyebut dirinya Karo. Madura atau Jawa Timur malah sering dikatakan berbeda dengan Jawa yang ada di Jateng dan DI Yogyakarta. 

Kita kerap berpikir bahwa konflik antar budaya tak akan terjadi lagi di saat semua anggota suku yang ada di dunia ini sudah saling silang lewat perkawinan dan lewat interaksi budaya lainnya. Nyatanya, sisi arkhaik berupa hasrat purba akan pentingnya identitas justru menjadi persoalan baru dalam interaksi antar budaya.

Dominasi orang Jawa di Jakarta misalnya kerap membuat orang Betawi ciut hingga menepi ke pinggiran kota. Demikian juga dominiasi orang Batak Toba  dan Mandailing di Kota Medan dan beberapa kota di Sumatera Utara kerap membuat orang Melayu, Karo, atau Simalungun merasa ditepikan.  Sebaliknya, pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, terutama di bidang industri parawisata di kawasan Danau Toba, justru kerap melahirkan ketakutan dan kekuatiran belebihan dari sebagian kecil orang Batak Toba bahwa mereka akan terpinggirkan oleh para pengusaha dengan bantuan penguasa.

Berani atau kuatir, melambat atau melaju, berteman atau memusuhi dst adalah sikap yang bisa kita pilih secara bebas. Tetapi pada akhirnya kita harus menyadari bahwa kita dihadiahi Tuhan akal budi dan hati untuk mendapatkan yang terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun