Beberapa tahun yang lalu, saya sempat terhenyak ketika seorang teman pria menulis dalam chat “ih.. saya jijik dengan kaum gay!”. Peristiwa chat itu membuat saya bertanya, apakah masih banyak diantara kita yang memiliki sikap seperti itu?
Di kesempatan yang lain, belum lama ini saya berkesempatan berdiskusi dengan seorang tokoh ulama di Yogyakarta yang dapat dikatakan konservatif. Dia mengatakan bahwa kaum waria, gay dan lesbian, mereka itu adalah orang sakit. Seorang teman bertanya kepada sang ulama, “lalu kalau mereka ini sakit, bagaimana cara menyembuhkannya?”. “Pergi ke psikolog”, jawab sang ulama.
Bila kita coba sedikit melihat ke sekeliling kita saat ini, maka kita akan menjumpai adanya keberagaman identitas baru dibadingkan dua atau tiga generasi di masa lampau. Fenomena LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) misalnya, adalah salah satu contoh identitas baru yang semakin eksis di ruang publik.
Proses heterogenisasi identitas yang mengarahkan masyarakat pada multikulturalisasi, bukanlah fenomena masyarakat kita semata. Hampir di seluruh dunia, wajah masyarakat telah diwarnai banyak perubahan. Spirit untuk semakin menjadi individu yang otonom adalah faktor yang memunculkan identitas-identitas personal dan kultural di ruang publik.
Multikulturalitas dalam Masyarakat Modern
Bikhu Parekh memetakan bahwa setidaknya terdapat tiga bentuk keberagaman di era masyarakat modern ini (Parekh, 2000). Pertama adalah yang disebut sebagai keberagaman subkultur. Keberagaman subkultur merupakan keberagaman identitas yang ada karena munculnya subkultur diluar dari kultur dominan. Sehingga, walaupun sebagian besar anggota masyarakat hidup dalam budaya tertentu, sebagian kecil lainnya memiliki keyakinan dan praktek hidup yang khusus atau yang secara relatif berbeda dengan cara hidup orang pada umumnya, misalnya saja kelompok LGBT.
Kedua adalah keberagaman perspektif. Keberagaman perspektif muncul bila terdapat sebagian anggota masyarakat yang kritis terhadap prinsip-prinsip atau nilai-nilai budaya dominan yang dianggap tidak ideal dan mencari jalan-jalan alternatif baru untuk memperbaiki keadaan. Keberagaman ini biasanya muncul dari kalangan intelektual, misalnya para feminis atau environmentalist.
Ketiga adalah keberagaman komunal. Keberagaman komunal muncul bila terdapat anggota-anggota masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok yang terorganisir dengan baik dan berbagi sistem dan praktek kehidupan tertentu yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Misalnya saja, kelompok-kelompok keagamaan baru, kelompok etnis atau imigran di wilayah tertentu.
Dekomposisi Identitas
Keberagaman dalam masyarakat modern juga merupakan konsekuensi dari proses yang sedang terus berjalan yaitu dekomposisi identitas. Saat ini, kita semua berada dalam era baru, dimana fragmentasi, destrukturasi dan dekomposisi identitas menjadi karakteristik dasarnya (Wieviorka, 2004). Perbedaan identitas kultural yang ada adalah diproduksi dan bukan hanya merupakan buah dari proses reproduksi sejarah semata. Itu mengapa, identitas semakin beragam dan semakin menemukan bentuk-bentuk baru.
Kesadaran baru tentang individualisme modern sangat berperan dalam dekomposisi identitas itu. Setidaknya terdapat dua sisi individualisme dalam masyarakat modern yang menjadi sumber-sumber dari penemuan identitas. Pertama adalah partisipasi dari setiap orang sebagai individu dalam kehidupan modern; seperti misalnya akses terhadap uang, konsumsi, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Dan kedua, adalah kesadaran bahwa sebagai individu, setiap orang dapat mengkonstruksikan pilihan-pilihannnya, mengkontrol hidupnya dan mendefinsikan eksistensinya sendiri, singkat kata menjadi individu yang otonom, secara individual sekaligus secara sosial.
Jihad Multikultural
Bulan Juni yang lalu, saya bertemu dengan teman-teman aktivis muda di Yogyakarta yang sangat dinamis. Mereka berasal dari berbagai gerakan-gerakan pro-demokrasi anti-kekerasan seperti gerakan perempuan, gerakan mahasiswa, gerakan cinta damai, gerakan dialog antar iman, bahkan teman-teman dari kelompok LGBT. Dalam refleksi bersama selama 3 hari, kami mencanangkan “Jihad Multikultural”. Penggunaan kata ‘jihad’ diambil dari inspirasi bersama untuk melakukan terapi kata-kata. Selama ini kita kerap mengidentikan kata ‘jihad’ dengan kekerasan. Kini saatnya kita melakukan terapi pada bahasa kekerasan, sehingga jihad dapat lebih dimaknai dengan ramah dan teduh.
Bagi kami, sekarang sudah saatnya kita semakin menjadi pribadi-pribadi yang multikulturalis! Mengapa? Karena kita hidup dalam dunia yang multikultural. Menjadi multikulturalis bukan lalu berarti setuju dengan identitas budaya lain yang tidak kita pilih tetapi memberikan pengakuan terhadap eksistensi mereka serta menghargai pilihan yangtelah mereka ambil. Menjadi multikulturalis berarti menjadi toleran terhadap keberagaman dan keberbedaan identitas kultural, sekalipun identitas yang lain itu bukan merupakan kultur dominan.
Menjadi multikulturalis juga harus dimulai dari hidup sehari-hari. Sudah bukan jamannya lagi mengatakan “ih.. saya jijik, ih.. saya benci”, mengutuk atau menistakan seseorang atau kelompok lain yang berbeda dengan dirinya. Sekarang jamannya menerima dan menghargai setiap identitas yang didefinisikan, berempati terhadap pilihan-pilihan individual, sehingga tercipta sebuah iklim saling menghargai dan penghormatan diantara sesama penghuni dunia.
Rujukan:
Kusumadewi, Lucia Ratih. 2010. “Kembalinya Subyek. Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme” in Jurnal Sosiologi Masyararakat. Labsosio, FISIP-Universitas Indonesia, Depok-Indonesia. Vol 15 No. 2, July 2010.
Parekh, Bikhu. 2000. Rethinking Multiculturalism. Cultural Diversity and Political Theory. New York: Palgrave.
Touraine, Alain. 2005. Un Nouveau paradigme pour comprendre le monde aujourd’hui. Paris: Fayard.
Wieviorka, Michel. 2008. Neuf leçons de sociologie. Paris: Robert Laffont.
Photos by Pesut Tronton
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H