Mohon tunggu...
luci ana
luci ana Mohon Tunggu... -

just another reader

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(IMLEK) Mekarlah Mei Hwa, Mekarlah

20 Januari 2012   08:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hidup dalam keluarga yang berkekurangan, tidak membuat Mei Hwa putus arang dalam menjalani hidupnya, rajin dan ulet itulah citra sang Mei Hwa apabila kita melihatnya. Mei Hwa kecil sering dikucilkan oleh kakak-kakaknya, karena terlahir dari bapak yang berbeda. Berbeda Bapak, berbeda suku pula, Ibunya yang pribumi menikah dua kali, dari suami yang pertama yang juga pribumi lahirlah kakak-kakaknya, semuanya perempuan. Dari suami yang kedua, lahirlah Mei Hwa dan satu adik perempuannya.

Dari silsilah sang Bapak pun, Mei Hwa bukan anak yang pertama, Bapaknya seorang pedagang dari negeri China yang merantau ke tanah Jawa, dia punya banyak istri dibanyak kota, jadi saudara dari Bapaknya tidak pernah dia kenal, bahkan tidak pernah dia lihat.

Mei Hwa tinggal bersama Ibu dan saudara-saudaranya, sosok ayah tidak pernah dia kenali dalam-dalam, kedua suami ibunya tidak pernah tinggal bersama dengan mereka, karena itulah sang Ibu selalu bersusah payah dalam mencukupi kebutuhan mereka semua.

Kehidupannya sangat sulit dijalani, tapi dia tidak menyerah. Ibunya yang keras tidak memanjakannya, bahkan kerap memaksanya untuk membantu mencari nafkah menjajakan kue dan menjaga adiknya. Pernah sekali waktu dia terpaksa membawa adiknya ikut sekolah, beberapa kali tidak masalah, tapi kemudian dapat teguran juga dari gurunya.

Mei Hwa kecil tumbuh menjadi gadis yang manis, kehidupannya banyak warna, dia hanya menamatkan sekolah sampai sekolah dasar. Untuk mencari nafkah, dia sempat berpindah-pindah tempat kerja, dari berjualan sampai pernah tinggal diklenteng untuk membantu menjaga dan merawat klenteng. Semua dijalaninya untuk mencukupkan kebutuhan keluarganya, asal halal katanya.

Pada suatu hari, dia mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan seorang pria warga keturunan. Tampan dan mapan, itulah gambaran pertama mengenai pria tersebut. Tidak beberapa lama, pria itu mempersunting Mei Hwa, oh alangkah bahagia hatinya, tidak terbayang kehidupan sulit sebentar lagi agar hilang, seorang pangeran tampan dan kaya raya akan mengubah jalan hidupnya.

Pesta pernikahan yang meriah dilaksanakan, semua berbahagia, akhirnya bunga Mei Hwa itupun mekar merekah.

****

Mei Hwa tua sesekali termenung, pikirannya melayang menelusuri jalan kehidupannya. Anaknya enam orang dan beberapa sudah menikah. Setelah dia menikah dulu, Mei Hwa tinggal bersama  mertua dan adik iparnya yang masih kuliah, semua biaya dinafkahi oleh suaminya. Tapi sayang, sang suami lebih memihak kepada keluarganya, semua fitnah yang disampaikan dari adik iparnya ditelan bulat-bulat oleh sang suami. Mei hwa hanya bisa pasrah, berharap waktu dapat mengubahnya.

Sang suami ternyata seorang yang mudah putus asa, saat usahanya bangkrut, Mei Hwa lah yang meneruskan tugas mencari nafkah, Mei Hwa harus membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung, sempat pula dia membuka warung sendiri dirumah, dan suaminya yang membantu menjalankan usaha kecil-kecilan tersebut, sedangkan adik iparnya yang sudah bekerja tidak mau membantu dan akhirnya menikah dan berpisah. Mertuanya sudah tiada, tinggallah mereka sekeluarga dengan enam orang anak.

Dalam mencari rejeki, pernah juga Mei Hwa menjadi pembantu rumah tangga dan harus pulang malam meninggalkan anak-anaknya diasuh sang suami seharian. Guncingan tak sedap tetangga mulai terdengar, mereka beranggapan kalau Mei Hwa seorang perempuan nakal, aduh sedihnya hati Mei Hwa, akhirnya Mei Hwa memutuskan untuk kembali berjualan saja.

Lika-liku kehidupannya masih belum berubah, kebutuhan hidup harus mengutang sana-sini, Mei Hwa tetap bersabar, sangat bersabar, semua cobaan datang silih dan tidak langsung berganti.

Sekarang anak keduanya yang sudah menikah sedang terbaring sakit, sudah yang kesekian kalinya masuk rumah sakit karena lupus yang dideritanya. Disamping tempat tidur anaknya itu Mei Hwa termenung, berharap kapan bunga Mei Hwa mekar kembali, kalaupun mekar, dia berharap dapat memekarkan juga kehidupan anaknya yang belum ada harapan untuk sembuh.

Oh Mei Hwa, kapan kau mekar merekah kembali?

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju ke akun Cinta Fiksi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun