Mengunjungi dan berbelanja kebutuhan pangan rumah tangga di pasar tradisional (pasar rakyat) bukanlah hal yang baru bagi masyarakat. Tapi kenapa, kematian pasar rakyat itu justru tidak bisa di hindari?
Terjebak issue, Pasar rakyat di jauhkan oleh hati masyarakat sendiri.
Kata-kata yang menggaris bawahi kalau pasar itu becek, kotor, bau. Serta kalah pamor dengan pasar ritel yang megah nan besar adalah belati yang kita tancapkan di hati kita sendiri. Sadar ngak sih? Kalau selama ini kita yang mengkoordinir langkah kaki kita sendiri untuk jarang belanja ke pasar bukan sebab alasan pasar itu becek, kotor dan bau. Karena sejak kapan memangnya pasar rakyat itu serupa mesjid yang ngak boleh becek, kotor, bau, lalu sebab itu di tinggalkan? Ada yang berubah, pergeseran gaya hidup dalam masyarakat kita. Paradigma pola pikir dan tingkah laku kita yang berubah. Bahkan untuk rutinitas kunjungan satu minggu sekali, contoh yang sederhana saja, bagi perempuan, makin mapan karir makin engan bersentuhan dengan nilai-nilai ketradisionalan. Kalau hari libur kita males bangun Pagi untuk berlomba-lomba memilih sayuran segar di pasar. Alesannya, kan hari libur dan setiap hari juga bangun pagi-pagi supaya ngak ketemu sama macet sebelum nyampe tempat kerjaan.
Alhasil, bangun siang sudah ngak menuntut lagi untuk kita bersemangat berbelanja ke pasar. Dari segi waktu dan kualitas sayur yang akan kita beli nantinya juga sudah tidak lagi efesien dan segar. Lagian biasanya pasar rakyat itu kalau ngak bukanya pagi-pagi sekali dimana sayuran masih seger atau bukanya sore jelang malem dimana sayuran baru tiba dan baru di rapihin sama penjual.
Contoh kedua, orang-orang yang menuhankan sebuah kepraktisan. Pernahkah kita berasumsi bahwa pergi itu harusnya sekalian? Berbelanja keperluan dapur sekalian bisa mengajak main anak ke timezone atau sekalian ingin nonton film bioskop terbaru? Kalau begitu tujuannya tentu bukan ke pasar dong. Atau mungkinkah kita selama ini diam-diam mencintai cara kepraktisan yang lain, dalam hal menyajikan makanan untuk keluarga di rumah. Dimana makanan yang tersaji diatas meja makan ternyata bukan berasal dari buah karya tangan kita sendiri alias selalu pesan dan diantar oleh kurir restoran.
Sekali lagi, sebenarnya paradigma berpikir dan berprilaku kitalah yang menyebabkan pasar itu mati. Bukan soal fasilitas pasar yang morat-marit. Bukan soal becek. Bukan soal kotor dan bau. Maksud saya, memang itu menjadi persoalan yang perlu ditangani tapi, bukan hal utama yang menjadikan pasar rakyat melemah denyut nadinya.
Bahkan gara-gara kalimat yang sudah terlanjur digaris bawahi tersebut. Terbit deh, berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satunya Perpres No.112 tahun 2007 tentang Pembinaan pasar tradisional, pusat pembelanjaan dan toko modern. Dimana seiring adanya perundangan baru, biasanya diiringin pula kebijakan dan kucuran dana dari pemerintah (APBN) untuk melakukan pembinaan terhadap pasar rakyat beserta peremajaan fasilitasnya. Niat pemerintah mah baik, saya apresiasi banget terhadap niat-niat baik. Tapi terkadang proyek-proyek yang sedemikian baik ini, tidak di eksekusi dengan baik pula. Malah memunculkan persoalan baru. Kita seolah menghendaki embrio mafia di pasar-pasar rakyat. Jangan lupa, dulu pernah ada kucuran dana sampai 5 TRILIUN untuk pasar rakyat di DKI jakarta. Hasilnya? masyarakat pasar sendiri belum tentu bisa menikmati fasilitas yang memadai dan berkelanjutan kedepannya, tapi duit tetep sudah terlanjur terkucurkan.
Langkah strategis dalam memberdayakan pasar rakyat.
Kalau kompasianer pernah menemukan di wilayah tempat tinggalnya ada pasar yang hilang kemudian berganti fungsi menjadi hotel (misalnya), itu bukan karena pasar di wilayah tersebut tidak strategis bagi faktor keamanan proses jual beli atau karena alasan mencemari lingkungan dan sebagainya. Karena alasan-alasan tersebut bisa saja di tanggulangi dengan upaya revitalisasi atau peremajaan. Melainkan alasan paling logis adalah karena kebanyakan pasar-pasar tradisional tersebut tidak memiliki ijin tetep untuk berada disebuah wilayah. Jadi maksudnya, langkah utama yang mutlak di ambil untuk memberdayakan pasar rakyat adalah dengan melakukan peningkatan status asset HGB diatas HPL agar asset pasar lebih bankeble. Dan tidak mengalami penggusuran di kemudian hari.
Kalau denyut nadi pasar mati, bisa di bayangkan melalui seberapa besar aktifitas pasar yang terjadi, melalui proses jual beli, ada berapa UKM dan UMKM yang ternyata tumbuh dalam pasar itu, berapa ratus bahkan ribuan orang yang mencari nafkah di pasar itu. Kematian pasar tentu akan berimbas pada kenaikan angka pengangguran, angka kemiskinan dan angka kriminalitas yang selalu mengiringi dampaknya kemudian.
Jadi kita harus merubah maindset kita terhadap pasar rakyat. Pasar adalah ‘perusahaan’ penyedia lapangan pekerjaan terbesar yang dapat menampung begitu banyaknya orang dari segmen tingkat pendidikan apapun. Yang mencari penghidupan dari pasar tentu bukan saja orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang. Melainkan ada pula kuli panggul, tukang parkir, preman bahkan sampai pengemis yang menggantungkan hidupnya dari denyut jantung pasar rakyat tersebut. Jadi apa salahnya, kita kembali mendatangi pasar demi tetep membuat ribuan orang punya pekerjaan dan bisa makan?