Mohon tunggu...
Lubna GhaisaniNafeeza
Lubna GhaisaniNafeeza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cancel Culture: Wadah Keadilan atau Penghakiman Sepihak?

7 Januari 2025   09:23 Diperbarui: 7 Januari 2025   09:23 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kabar baiknya adalah cancel culture memang sangat memberikan ruang bagi individu atau kelompok yang sebelumnya tidak memiliki platform untuk menyuarakan pengalaman atau ketidakadilan yang mereka alami. Dengan media sosial sebagai alat utamanya, cancel culture memungkinkan isu-isu yang sering diabaikan oleh media arus utama untuk mendapatkan perhatian publik. Hal ini terutama bermanfaat bagi kelompok marginal yang sering kali menghadapi ketidakadilan tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.

Oleh karena itu, cancel culture kerap menjadi alat yang efektif untuk menuntut tanggung jawab dari figur publik atau institusi besar yang memiliki pengaruh signifikan. Ketika tindakan atau pernyataan mereka dianggap merugikan, masyarakat melakukan cancel culture dan memberikan tekanan agar mereka bertanggung jawab atas perilaku mereka. Dalam hal ini, cancel culture berfungsi sebagai pengingat bahwa kekuasaan atau popularitas tidak memberikan kekebalan terhadap kritik atau tuntutan keadilan.

Sehubungan dengan itu, maka dapat kita katakan bahwa budaya ini ikut memainkan peran penting dalam melawan ketidakadilan, diskriminasi, dan penyalahgunaan kekuasaan dengan membawa isu-isu tersebut ke dalam percakapan publik. Dengan memobilisasi opini masyarakat, cancel culture sering kali memaksa perubahan kebijakan atau perilaku dari pihak yang bersalah. Ini membuat cancel culture tidak hanya menjadi bentuk protes sosial, tetapi juga alat untuk mendorong reformasi yang lebih inklusif dan adil.

Cancel Culture sebagai Wadah Penghakiman

Namun, budaya ini tidak selamanya membawa pengaruh positif dalam masyarakat. Salah satu permasalahan utama terhadap cancel culture adalah munculnya mob mentality, di mana masyarakat cenderung ikut-ikutan mengecam tanpa mempertimbangkan konteks atau bukti yang lebih mendalam. Hal ini seringkali disebabkan oleh kurangnya tingkat literasi dari para pengguna di media sosial, sehingga mungkin mereka bahkan tidak paham sama sekali terkait  dengan isu yang mereka komentari. Dalam banyak kasus, tekanan sosial yang kuat dan cepat membuat individu atau institusi menjadi sasaran kemarahan kolektif, tanpa adanya kesempatan yang adil untuk klarifikasi atau pembelaan. Akibatnya, kerap terjadi pengambilan keputusan secara terburu-buru dalam masyarakat. Biasanya, keputusan itu diambil tanpa mempedulikan proses hukum atau prinsip-prinsip keadilan dasar.

Tentunya, hal ini akan berdampak pada individu yang menjadi korban cancel culture. Sering kali dampak yang mereka alami cukup serius, terutama bagi kesehatan mental mereka. Tindakan boikot atau kecaman massal dapat menyebabkan perasaan terisolasi, cemas, atau depresi, karena mereka harus menghadapi hujatan yang tidak hanya datang dari publik, tetapi juga bisa mengganggu kehidupan pribadi dan karir mereka. Tekanan ini bisa berlanjut dalam jangka panjang, menyebabkan trauma emosional dan merusak kepercayaan diri korban.

Selain itu, budaya ini juga berpotensi dapat membungkam kebebasan berpendapat, karena mengakibatkan individu takut mengungkapkan pendapat atau gagasan yang berbeda dengan pandangan mayoritas. Ketika kritik atau pandangan yang tidak populer langsung berujung pada serangan sosial, hal ini menyebabkan munculnya ketakutan yang membatasi ruang untuk diskusi terbuka dan keberagaman pendapat. Akibatnya, masyarakat bisa terjebak dalam konformitas atau keseragaman, di mana hanya pandangan mayoritas yang dianggap sah, sementara suara-suara alternatif terpinggirkan.

Untuk menyelesaikan konflik atau ketidaksetujuan dengan cara yang lebih sehat, perlu adanya pendekatan yang mengutamakan dialog yang membangun dan pemahaman bersama. Alih-alih langsung menghakimi atau melakukan "cancel" kepada pihak yang berbeda pendapat, kita bisa mengutamakan komunikasi yang terbuka dan saling menghargai. Pendekatan ini memberi kesempatan bagi semua pihak untuk menjelaskan perspektif mereka dan mencari solusi yang lebih inklusif tanpa merusak hubungan sosial.

Penting untuk menekankan pendidikan dan pemahaman yang lebih dalam sebagai fondasi dalam menyelesaikan ketidaksetujuan. Diskusi terbuka yang menghargai berbagai pandangan memungkinkan kita untuk memahami lebih baik posisi orang lain dan mencari titik temu. Selain itu, pendekatan seperti restorative justice dapat menjadi alternatif yang lebih konstruktif, dimana pelaku kesalahan diberi kesempatan untuk memperbaiki tindakan mereka dan memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan, alih-alih hanya dihukum atau "dihapus" dari ruang sosial.

Kesimpulan

Cancel culture, dalam banyak hal, bisa dilihat sebagai upaya untuk memberikan keadilan bagi mereka yang terdampak oleh perilaku atau pernyataan yang merugikan. Namun, fenomena ini juga sering kali menimbulkan penghakiman sepihak yang cepat tanpa mempertimbangkan bukti atau konteks yang lengkap. Meskipun dapat membawa perubahan sosial yang positif, terkadang cancel culture lebih banyak berfokus pada hukuman sosial daripada pada pemahaman atau rehabilitasi, yang bisa mengarah pada ketidakadilan bagi individu yang menjadi target.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun