Mohon tunggu...
Wardhani Lubis
Wardhani Lubis Mohon Tunggu... Konsultan - LEAD Fellow Cohort-9

learn and live the moment !

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cara Ibu Memahami Demokrasi

19 Maret 2014   17:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:45 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seperti seorang ibu yang mengikuti setiap gerak-gerik anaknya sejak lahir hingga dewasa. Maka sangat mudah menghapal ritual demokrasi yang berlangsung di negeri ini. Sudah terbaca di titik mana ia jatuh, di titik mana ia dipuja-puja, di titik mana pula ia akan dihujat teman-temannya. Alih-alih membaktikan diri lebih dahulu untuk kepentingan rakyat, para “tokoh” demokrasi ini justru lebih suka menghabiskan uangnya dengan “menjual” dirinya lewat baliho, brosur, pamflet, serta media cetak/elektronik. Dengan total pencitraan berupa foto diri hasil polesan photoshop, plus embel-embel gelar, atau shadowing seorang tokoh Nasional yang terkenal, para “tokoh” demokrasi ini begitu berhasrat untuk disukai Rakyat. Mendadak ada banyak sekali entitas yang peduli rakyat, menyanyikan lagu lama yang itu-itu saja, sungguh membosankan! Mereka ingin partainya (atau dirinya sendiri) mendapat hasil coblosan dengan persentase yang besar agar urutan namanya dalam daftar calon wakil rakyat lolos tersaring dalam ajang popularitas ini.

Lihatlah yang dilakukan para pewaris bangsa ini atas nama Demokrasi. Dari level desa hingga negara, dari ujung barat ke ujung timur, sepanjang tahun sibuk mematut-matut diri dalam Pemilihan-Pemilihan. Pilkades, Pilkada, Pilgub, Pilleg, Pilpres, berlangsung simultan di berbagai penjuru Nusantara. Praktis, demokrasi adalah perkara memilih siapa Presiden, siapa Gubernur, siapa duduk di mana, dan seterusnya. Demokrasi adalah perkara memenangi kursi terbanyak di DPR/DPRD agar bisa menjalankan mekanisme kenegaraan sesuai kepentingan (pemimpin) partainya. Demokrasi membuka lapangan pekerjaan baru yang menjanjikan kompensasi besar berupa uang dan strata sosial. Betapa sedikit sekali yang tak tergiur!

Akhirnya sebagaimana seorang ibu, bukan tindakan bijaksana untuk selalu mendikte anak-anaknya. Mungkin lebih baik membiarkan anak-anak itu mengalami jatuh bangunnya  - atau bahkan jatuh terus tak pernah bangun – sebagai sebuah proses alamiah yang kelak mendewasakannya. Seorang ibu yang baik hanya mengamati, mengawasi, dan tentu saja siap memarahi anaknya kapan saja dia bertindak bodoh. Tetapi seorang ibu tetap tak punya kuasa menentukan dengan pasti seperti apa anak-anaknya esok hari. Seperti agama, ia hanya membekali anak-anaknya dengan wawasan fundamental kecintaan bernegara, tentang sebuah ideologi bernama Pancasila dan UUD 1945 – bahkan sejak anak-anak itu dilahirkan. Sepanjang proses itu, seorang ibu akan selalu punya cara untuk mengatasi kesusahan, kekecewaan dan kesedihan tentang kenakalan anak-anaknya yang sering lalai menunaikan janji-janjinya. Karena itu, meskipun ia hanya diam menonton dari balik jendela, meskipun tak ada tinta ungu di kelingkingnya, doanya pasti berpilin ke langit jingga. Pintanya, “semoga KebaikanMU-lah yang mengiringi langkah anak-anakku, membukakan mata hati mereka dari kebodohan, meneguhkan hati mereka untuk tidak berbuat curang dan mengambil hak orang lain, membangkitkan mereka dari putus asa dan kemalasan, memberanikan mereka agar lantang menegakkan digdaya Merah Putih di seantero negeri, menjadikan bangsa ini bermartabat dan disegani. Aamiin.” Demikian opini Ibu Pertiwi yang mulai lelah bersusah hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun