Mohon tunggu...
Wardhani Lubis
Wardhani Lubis Mohon Tunggu... Konsultan - LEAD Fellow Cohort-9

learn and live the moment !

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Be Prepared, Pelajaran dari Hujan Abu Kelud

15 Februari 2014   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto : Berbagai Sumber

Kemarin tanggal 14 Februari 2014 adalah hari istimewa. Perdebatan soal Valentine tak lagi menjadi topik yang menarik diperbincangkan, karena mendadak seluruh negeri ini tersentak dengan kabar meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur. Begitu dahsyatnya letusan eksplosif itu hingga suaranya terdengar sampai ke Yogyakarta yang berjarak sekitar 300 kilometer dari lokasi gunung itu.

Selain mereka yang mempunyai keluarga di wilayah Kediri, Blitar, atau Malang, tak banyak warga Jogja yang menyangka suara letusan itu berasal dari Gunung Kelud karena jaraknya cukup jauh (sekitar 10-11 jam berkendaraan dengan mobil pribadi). Tapi ketika melihat berita di televisi dan mendapat surprise gift di pagi hari – debu pasir menutupi jalan dan atap rumah, putih, sesak, dan sedikit aroma sulfur –  warga mulai sadar apa yang sedang dihadapi. Pesan singkat dari teman-teman di Jogja bersliweran di gadget mengabarkan situasi aktual di luar sana. Tanggap dengan situasi, guru kelas anak-anak di sekolahnya mengabarkan bahwa KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) ditiadakan untuk hari itu, syukurlah mereka bisa aman dari resiko hujan abu vulkanik ini. Ternyata pihak Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta juga menghimbau semua sekolah di Yogyakarta untuk meliburkan siswa, para guru dan pegawai untuk melakukan aktifitas rutin di hari itu.

Maka yang terlihat berikutnya adalah suasana mencekam di setiap sudut Jogja. Langit memerah, bumi jogja masih gelap meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 (biasanya Jogja sudah terang benderang pukul 5.30 pagi). Hujan abu masih terus mendera dengan intensitas yang lumayan terasa. Lima detik saja berdiri di luar rumah, setidaknya cukup “memutihkan” badan dengan guyuran debu vulkanik yang diterbangkan angin dari jarak 300 kilometer jauhnya. Di gerai swalayan serba ada yang terdekat dari rumah, terlihat orang-orang ramai membeli masker. Antri hingga 20 orang di depan kasir, dan tiba di orang ke-21 stok masker pun habis!

Jogja yang biasanya semarak dengan suasana paginya yang khas – anak-anak berangkat ke sekolah dengan berbagai moda, lapak gudeg lesehan yang selalu ramai, angkringan pagi dengan kepulan uap kopi panas, mbah sayur sepeda, pakde kerupuk, yu jamu – semua tak terlihat pagi itu. Warga menutup pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat, sibuk memantau situasi dari balik tirai dan running text di televisi.

Beranjak siang, hujan debu mulai berkurang. Namun hal ini belum menyudahi “kelumpuhan” Kota Jogja. Lewat foto yang didapat dari seorang teman, terlihat kawasan Malioboro seperti baru dilanda peperangan. Debu tebal rata menyelimuti, jarak pandang sangat minim, dan nyaris tak terlihat tanda-tanda kehidupan disana. Geliat perekonomian di Jogja pun mati sementara. Toko-toko dan pasar tradisional tutup, hanya ada beberapa restoran cepat saji yang masih membuka gerainya. Maka bisa dibayangkan bagaimana panjangnya antrian saat jam makan siang. Bukan hanya yang ready-to-eat, bahan makanan mentah pun mendadak langka. Stok mie instan habis, telur kosong, makanan kaleng lenyap, beras, gula, roti juga ambles! Sebegini parahkah?

Situasi darurat seringkali membunuh jiwa sosial kita. Tak terfikir lagi bagaimana orang lain, yang penting bagaimana menyelamatkan diri sendiri dan keluarga terdekat dari segala bentuk kesusahan. “Peduli apa orang lain tidak kebagian masker, yang penting saya borong selusin buat persediaan!”. Ketakutan akan kehabisan makanan juga membuat warga jadi lebay, hingga tak sampai setengah hari semua gerai indoxxxxx sudah kosong kehabisan supply. Tidak bisa juga menyalahkan warga sepenuhnya, mengingat setelah begitu massive-nya bencana terjadi dimana-mana sulit menyandarkan harapan hidup pada pamong negeri ini, save for your own life! Siapa yang mau mengorbankan diri di tengah situasi darurat? Secara alamiah pastilah kita sibuk menyelamatkan diri sendiri.

Belajar dari peristiwa JOGJA140214 (ini penamaan dari saya pribadi), segeralah lengkapi diri Anda dan keluarga dengan pengetahuan praktis mitigasi bencana. Setidaknya, ketahuilah ancaman bencana apa saja yang bisa mengimbas pada kita, apa yang harus dipersiapkan sebagai antisipasi kemungkinan bahaya yang mengancam keselamatan diri, dan tentu saja,  mendukung upaya-upaya penyelamatan diri orang lain dan masyarakat secara keseluruhan. Secara luar biasa, Tuhan menganugerahkan kepada kita bangsa Indonesia, negeri yang kaya raya dengan potensi sumber daya alam yang bukan hanya menjanjikan kesejahteraan tapi juga konsekuensi alam yang selalu kita sebut “bencana”. Marilah kita memahami bencana atau konsekuensi alam ini sebagai suatu kenyataan hidup, yang memang harus dihadapi dengan segala bentuk antisipasi dan persiapan sebelum-saat-dan sesudah terjadinya bencana. Sadar bencana bukan berarti lebay atau over-reacted dan menenggelamkan diri dalam ketakutan akan bahaya-bahaya. Sadar bencana berarti kita siap dengan kondisi darurat yang timbul akibat bencana. Dalam situasi normal, sadar bencana dapat kita mulai dengan membiasakan “kultur keamanan” atau “safety first” dalam segala aktifitas. Selanjutnya menurut saya tak ada jargon lain yang lebih tepat selain kutipan Lord Baden Powell (Bapak Pandu Sedunia), “BE PREPARED!”. Demikianlah saya menyudahi catatan ringan ini sambil tersenyum kecil melirik tas ransel di atas lemari dengan emergency content di dalamnya. Bagaimana dengan Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun