Ratusan tahun mulai terasa cepat dan perkembangan telah terjadi dimana-mana. Dunia kerja pun telah berubah drastis. Dahulu kala, seseorang akan berlomba-lomba untuk menggapai cita-cita yang dianggap utama dan penting, seperti dokter, guru, pilot, dan astronot. Sekarang, telah banyak orang yang menemukan pekerjaan-pekerjaan baru dan dianggap menarik, misalnya youtuber, graphic designer, editor, dan penyanyi. Alasannya sangat sederhana, kebutuhan di dua zaman yang berbeda tidaklah sama. Kebutuhan ekonomi, pendidikan, hingga emosional telah mengalami perubahan berubah.
Kehidupan tidak pernah lepas dari faktor selera. Selera setiap orang menjadi pelengkap dalam memenuhi kebutuhan emosionalnya, seperti halnya memenuhi kebutuhan perut dengan makanan yang bergizi. Kebutuhan emosional setiap generasi yang berbeda menyebabkan setiap orang bisa mempunyai selera individu yang berbeda juga. Salah satunya ditunjukkan melalui dunia musik. Di dunia modern, banyak orang mulai berlomba untuk mempelajari berbagai alat musik karena dianggap menenangkan hati hingga ingin dijadikan pekerjaan. Seseorang bahkan bisa menjadi sangat emosional hanya dengan mendengarkan lagu berdurasi dua menit. Bagi beberapa orang, hari-hari terasa membosankan tanpa unsur musik.
Terkadang, kita melihat anak sekolah asyik mendengarkan musik melalui earphone. Di stasiun-stasiun, banyak penumpang mendengarkan musik sambil mengerjakan tugas, tidur, atau sebatas gimik agar tidak diajak berbicara oleh orang lain. Tidak jarang restoran maupun warung makan menyetel lagu yang menyesuaikan umur konsumen. Tempat pijat atau spa juga menyetel lagu yang cenderung tenang dan biasanya lagu berbentuk instrumental. Ternyata, musik dapat menjadi pemenuhan kebutuhan emosional di berbagai tempat dan waktu.
Sayangnya, perubahan zaman yang begitu cepat membuat seseorang sulit untuk menghargai perbedaan selera. Mereka memiliki kecenderungan untuk memaksa orang lain agar memiliki selera yang serupa. Jika selera yang seseorang tidak sesuai dengan selera mereka, orang tersebut akan dicap "aneh" dan dijadikan bahan olokan. Karena itu, prinsip mayoritas dan minoritas tetap berlaku untuk hal yang sepele. Selera musik seseorang termasuk salah satu yang sering dipermasalahkan. Hal itu mengakibatkan tidak terciptanya keadilan dalam masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Demorest (2002) menunjukkan bahwa secara biologis tidak ada bias budaya dalam mendengarkan musik. Penelitian tersebut melibatkan partisipan musisi western dan partisipan yang bukan musisi untuk mendengarkan musik Barat dan musik tradisional Cina. Hasilnya, dengan menggunakan teknik pencitraan otak fMRI, ditemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara musik Barat dan musik tradisional Cina diantara keseluruhan partisipan. Oleh karena itu, beberapa literatur menyebutkan bahwa emosi yang diekspresikan melalui musik juga bersifat bersifat universal. Artinya, tidak layak bagi kita untuk mengatakan seseorang aneh akibat selera musiknya. Bagi satu orang untuk mencapai kesenangan hanya bisa melalui musik yang tenang, namun bagi orang lain mungkin saja emosi yang sama dapat dirasakan melalui musik dangdut.
Ada seorang anak yang tidak bisa merasakan konser band metal karena tim acara sekolahnya hanya memerhatikan mayoritas kecenderungan selera komunitas. Saat teman-temannya berkumpul menikmati konser tersebut, anak yang tidak tertarik ini memilih untuk memisahkan diri, merasa sulit untuk ikut serta dalam euforia dan kebersamaan yang dirasakan orang lain. Terlihat bahwa dominasi selera mayoritas justru menyingkirkan orang-orang yang memiliki preferensi berbeda. Hal ini bisa terjadi di berbagai tempat, seperti festival sekolah, acara keluarga, atau bahkan kegiatan di lingkungan pertemanan. Hal tersebut menunjukkan pentingnya memberikan ruang bagi variasi selera agar setiap individu merasa diterima dan dihargai dalam lingkungan sosial.
Tidak ada yang salah dengan memiliki selera yang berbeda dari orang lain dan menjadi bagian dari minoritas. Justru, perbedaan ini sering kali memberi kesempatan untuk mendapatkan hal-hal yang unik dan jarang diketahui banyak orang. Ketika seseorang memiliki selera musik yang berbeda, seperti menyukai musik eksperimental atau genre yang kurang populer, ia berpeluang menemukan berbagai perspektif baru, nuansa musik yang tidak umum, dan bahkan budaya serta komunitas yang lebih kecil namun beragam. Hal-hal ini mungkin tidak dapat dinikmati oleh mereka yang hanya mengikuti selera musik mainstream.
Misalnya, seseorang yang menyukai musik tradisional dari berbagai negara bisa merasakan keunikan ritme dan alat musik yang jarang terdengar dalam lagu-lagu populer. Selain itu, pengalaman mendalam ini sering kali memperkaya wawasan dan pemahaman tentang keberagaman budaya. Menjadi minoritas dalam selera juga memungkinkan seseorang untuk mengapresiasi kekayaan kreativitas yang tidak terbatas pada tren yang umum. Dalam banyak hal, memiliki selera berbeda bisa menjadi cara untuk menemukan dunia kecil yang unik dan bernilai bagi individu, yang pada akhirnya memperkaya pengalaman hidupnya tanpa harus terpaku pada penilaian mayoritas
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H