"Umur tidaklah menentukan kedewasaan." Pandangan tersebut tidak pernah saya percaya sampai suatu artikel muncul di hadapan kedua mata ini. Banyak dari kita memuja-muja Profesor sebagai seseorang dengan kedudukan yang tinggi. Tetapi, isi hati dan pikiran seseorang nyatanya tidak tampak melalui umur.
Seorang Profesor dapat dengan cepat dipandang rendah oleh masyarakat apabila melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Salah satunya, pelecehan seksual terhadap mahasiswi. Perasaan bahwa seseorang kerap kali memanfaatkan kedudukannya yang tinggi untuk mengancam dan "menggunakan" mereka semakin terlihat. Universitas dengan kredibilitas yang baik pun ternyata tidak menjamin adanya Profesor yang sehat secara mental dan tindakan.
Menurut korban berinisial RA pada Kompas tanggal 20 Agustus 2022, benar bahwa Profesor berinisial B melakukan pelecehan terhadapnya. Aksi ini dilakukan di rumah Profesor B saat RA hendak menyerahkan tugasnya. Profesor B tiba-tiba membuka masker RA dan mencium bibirnya sebelum akhirnya didorong oleh RA. Tindakan ini sebenarnya telah menggambarkan situasi sosial dunia pendidikan yang kacau sehingga seorang mahasiswi pun tidak menyangka orang bergelar akan berperilaku seperti itu.
Kehadiran mencekam dari Profesor B juga mempengaruhi psikologi RA. Menurut RA, peristiwa ini telah terjadi dua kali, tetapi RA tidak melaporkan peristiwa ini karena takut Profesor B memberikan nilai yang jelek. Hal ini semakin membuktikan bahwa dengan kedudukan yang lebih tinggi, seseorang mampu menggunakan kekuasaannya seenak hati.
Seorang profesor yang melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi dapat diibaratkan seperti seorang penjaga taman yang merusak dan mencemari tanaman. Bunga-bunga di taman tersebut dapat dianalogikan sebagai mahasiswi. Pertumbuhan dan perkembangan mereka dipercayakan kepada penjaga taman yang seharusnya bertindak sebagai pembimbing dan pelindung.
Akan tetapi, ketika penjaga taman tersebut justru menggunakan kekuasaannya untuk merusak dan menyakiti, Ia bukan hanya mengkhianati kepercayaan yang diberikan, tetapi juga merusak ekosistem keadilan dan keamanan yang seharusnya ada di lingkungan pendidikan. Seperti halnya taman yang rusak, para korban pelecehan membutuhkan dukungan dan waktu untuk menyembuhkan luka trauma yang ditinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H